Shopping Online

21.43 | Posted in
Udi Mufrodi Mawardi: Gambaran Manusia Menurut Alquran: Antara Ras, Kewajiban, dan Hak Asasi Manusia
A. Pendahuluan

Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar senantiasa berfikir tentang kosmos baik yang makro maupun mikro, sebagai yang tertuang dalam surat al-Zariyat: 20-21 dan Yunus: 101. Upaya memahami alam semesta, menurut Komaruddin Hidayat, sebagai tangga yang mesti dilalui untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan.
[1] Konsek-wensinya, demikian Nurcholis Madjid, muncul suatu kesadaran tentang adanya Tuhan dan kemudian diaktualisasikan ke dalam bentuk moralitas.[2]

Berfikir tentang kosmos, sebenarnya sudah dilakukan oleh manusia sebagai Homo Sapiens ketika dirinya berhadapan dengan fenomena yang ada, namun yang menjadi perhatian adalah makro kosmos. Pada zaman primitif, misalnya, nenek moyang sibuk memikirkan bagaimana cara menundukkan alam demi kelangsungan hidup.[3] Pada abad ke VI SM, para filosof Yunani di Miletos memfokuskan perhatian mereka pada asas pertama alam semesta.[4] Adapun mengenai mikro kosmos (manusia), pemahamannya secara filosofis dimulai sejak abad ke V SM. Oleh Pythagoras (580-500 SM.), kemudian pada abad Ke IV SM. Oleh Plato (427-347 SM.) dan Aris-toteles (384-322 SM.). Pada abad ke VIII M. oleh para teolog Islam dan pada abad ke X M. oleh para filosof Islam. Namun demikian, pemahaman mereka tentang manusia sekitar argumentasi-argumentasi mengenai keterkaitan antara tubuh, jiwa dan roh manusia.[5]

Pada zaman renaisance, priode antara sekitar 1400-1600 M, dan zaman modern pema-haman tentang manusia dilakukan oleh para filosof Barat berdasarkan ilmu pengetahuan.[6] Mereka berusaha memahami manusia sesuai de-ngan disiplin ilmu yang diketahuinya, karena majunya spesialisasi dalam dunia ilmu penge-tahuan dan berkembangnya diferensiasi dalam profesi kehidupan. Oleh sebab itu, demikian Komaruddin Hidayat, potret tentang realitas ma-nusia semakin terpecah menuju kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin ilmu, seperti psikologi, sosiologi, biologi, teologi, dan ekonomi menjadikan manusia se-bagai obyek kajian materialnya dengan metode dan tujuan yang berbeda sehingga melahirkan konklusi yang tidak sama mengenai hakikat manusia.[7]

Pemahaman secara parsial, menurut Umar Syihab, tidak akan menemukan kualitas dan eksistensi manusia yang sebenarnya.[8] Sebab, kata Quraisy Syihab, yang diketahui hanya bagian-bagian tertentu yang terdapat dalam diri manusia padahal masalahnya multikompleks.[9] Sebagai dampaknya, manusia tidak dapat di-kenali sebagai makhluk sempurna bahkan dipandang bereksistensi dalam tataran sejajar dengan makhluk lain. Sebagai dalam pendapat Thomas Hobbes (1588-1679 M) manusia adalah srigala bagi manusia atau Homo Homini Lupus yakni cenderung mempertahankan dirinya sen-diri dan menguasai orang lain.[10] Rene Descartes (1596-1650 M) berpendapat bahwa manusia sebagai homo mechanicus (manusia mesin) yang berjalan karena lingkungan sistemnya tanpa ada motif dibelakangnya atau dorongan alam bawah sadar.[11] Menurut Charles Darwin (1809-1882 M), manusia berasal dari kera besar (Pongid) yang berevolusi dan berkembang secara kronologi sela-ma jutaan tahun.[12] Max Scheler (1874-1928 M), berasumsi bahwa manusia adalah binatang, dahulu, sekarang, dan di masa depan, tetapi de-ngan pikirannya dapat mengubah alam menjadi kebudayaan.[13]

Pandangan-pandangan yang materialistis dan parsial tersebut, tentu saja membuat manu-sia modern sulit untuk sampai pada kesem-purnaan dirinya, karena orientasinya sebatas ruanglingkup obyek kajian yang dipahami dengan mengesampingkan hal-hal yang tran-sedental dan eksistensi manusia secara totalitas. Oleh sebab itu, tegas Ali Syari'ati, manusia modern tidak mempunyai pemahaman yang benar terhadap makna dan konsep hidup di tengah kemajuannya dalam bidang sains.[14] Hal itu menyebabkan manusia moderen tidak dapat melaksanakan tugas kekhalifahannya yaitu, dalam istilah Quraisy Syihab, menciptakan ba-yang-bayang surga di bumi.[15] Berdasarkan realitas, dunia modern sudah sampai pada pun-cak kemajuannya dalam segala bidang, namun banyak timbul malapetaka, hal yang dapat di-mengerti, karena manusianya yang konstruktif, tetapi juga destruktif.

Dengan demikian, perlu kiranya mem-berikan interpretasi tentang manusia secara komprehensif dengan harapan di kesimpulan akhir dalam kajian ini, memperoleh jawaban tentang bagaimana eksistensi manusia yang se-benarnya? Manfaat yang dapat dipetik, manusia kontemporer bisa mengenali dirinya secara utuh dan memahami makna atau konsep hidup yang benar. Cara untuk menemukan jawaban yang di-harapkan, adalah dengan menjadikan al-Qur'an sebagai rujukan melalui pendekatan tematis.

B. Konsep dan Makna Manusia

Berdasarkan definisi yang berbeda dikemu-kakan oleh para ahli tentang manusia. Perbedaan tersebut, pada dasarnya timbul karena sudut pandang yang berbeda sesuai dengan disiplin ilmu yang diketahui para ahli. Definisi yang dihasilkan pun, menurut Zulkabir, belum meng-gambarkan wujud manusia secara utuh.
[16] Sung-guhpun demikian, definisi para ahli yang sifatnya parsial perlu untuk diketahui sebagai bahan komparasi dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan, yang berguna untuk mem-verifikasi definisi Qur'ani yang komprehensif.

Definisi manusia, menurut ahli filsafat Yunani kuno, makhluk yang terdiri dari tubuh dan jiwa yang di antara keduanya, oleh Plato (427-347 SM), dipandang sebagai dua kenyataan yang harus dipisahkan. Jiwa bersifat kekal dan tubuh tidak bersifat kekal, karenanya tubuh lebih rendah kedudukannya daripada jiwa. Ma-nusia ideal, menurutnya, jika ia dapat mengejar kemurnian rohani dengan cara melepaskan jiwa dari kesenangan dunia.
[17] Aristoteles (384-322 SM.), memandang tubuh dan jiwa sebagai dua aspek dari substansi yang saling berhubungan. Tubuh adalah materi, sedang jiwa itu bentuk. Karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka pada saat manusia mati jiwanya akan hancur.[18]

al-Farabi (872-950 M), seorang filosof Islam, mengemukakan definisi yang sama dengan filosof Yunani kuno tentang manusia, yakni sebagai makhluk yang terdiri dari unsur jasad dan jiwa. Sama halnya dengan Plato (427-347 SM), menurut al-Farabi (872-950 M), jiwa tidak fana dengan sebab kematian jasad. Namun, bagi Plato, jiwa sudah ada sebelum adanya jasad, sedang al-Farabi memandang jiwa berasal dari akal aktif yang telah memberikan bentuk kepada jasad sebagai materi manakala jasad telah siap menerima jiwa di dalam kandungan. Jadi, bagi al-Farabi, jiwa merupakan substansi yang berdiri sendiri, berbeda dengan Aristoteles yang me-mandang jiwa dan jasad sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.[19] Jiwa, menurut al-Farabi (872-950 M) mempunyai sejumlah daya yaitu daya penggerak, daya mengetahui, dan daya berfikir.[20]

Menurut Sigmund Freud, seorang psikolog abad XIX yang mengetengahkan teori psi-koanalisa,[21] manusia adalah makhluk yang perilakunya digerakkan oleh keinginan-keinginan (homo volens). Sebagai yang dikatakannya, prilaku manusia merupakan hasil interaksi dari tiga subsistem dalam kepribadian manusia, yaitu id, ego dan superego. Id di dalamnya berupa instink reproduktif (libido) dan instink destruktif atau agresif (thanatos). Ego adalah subsistem yang berfungsi sebagai penengah antara hasrat hewani dengan pertimbangan-pertimbangan rasi-onal dan realistik. Superego berisi kata hati dan berhubungan dengan lingkungan sosial, serta mempunyai nilai-nilai moral dan karenanya se-bagai kontrol terhadap dorongan-dorongan id.[22]

Manusia dalam pandangan William James (1842-1910 M), pencetus teori psikologi behaviorisme, sebagai makhluk reaksi. Semua perangsang dari luar menyebabkan timbulnya rekasi-reaksi itu. Unsur-unsur terpenting dari pada perbuatan adalah refleksi sensor-motoris, yakni reaksi yang tidak disadari terhadap suatu perangsang.[23]

Menurut teori psikologi kognitif, manusia adalah makhluk yang bereaksi secara aktif ter-hadap lingkungan dengan cara berfikir (homo sapiens). Manusia, dalam teori ini, tidak secara otomatis memberikan respon pada perangsang, tetapi ia aktif menafsirkan perangsang yang dihadapinya.[24]

Menurut persepektif eksistensialisme, ma-nusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dan bersifat otonom. Otonomi inilah yang menja-dikan manusia dapat memilih, dapat mengatakan "ya" atau "tidak" terhadap segala sesuatu yang dihadapinya, sehingga ia mampu merancang dan menciptakan dirinya sendiri. Dalam diri manusia tidak terdapat bagian atau karakteristik tertentu yang datang dari Tuhan atau alam.[25] Ia wujud dengan sendirinya di alam semesta, atau disebut sebagai homo viator (makhluk musafir). Perja-lanan hidup manusia akan berakhir pada ke-matian. Karenanya perjuangan hidup manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara "berada" dan "tidak berada". Hal inilah, demikian Gabriel Marcel (1889-1973 M), yang menye-babkan manusia takut mati. Untuk mengatasi kematian, tegasnya, manusia mesti memiliki cin-ta kasih dan kesetiaan dengan harapan dapat menemukan "Engkau Yang Tertinggi" (Tuhan). Itulah, menurutnya, yang disebut "berada" yang sejati, dan karena itu kematian adalah semu.[26]

Menurut teori humanisme, manusia adalah makhluk yang unik dan memiliki cinta, krea-tivitas, kehendak bebas, cita-cita, moral, kesa-daran akan dirinya, dan kesadaran akan ling-kungan. Manusia, dalam teori ini, prilakunya bukan dikendalikan oleh keinginan bawah sadar (seperti teori behaviorisme), tetapi berpusat pada konsep diri. Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas dirinya. Manusia juga cenderung ingin selalu mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan yang bermakna. Oleh sebab itu, manusia menu-rut teori humanisme, disebut sebagai makhluk yang mengerti makna kehidupan (homo ludens).[27]

Menurut teori evolusionisme, yang dipelo-pori oleh Charles Darwin (1809-1882 M), manu-sia adalah hasil evolusi tahap akhir dari perja-lanan panjang evolusi makhluk bumi yang telah dimulai dari suatu makhluk yang paling se-derhana, yaitu binatang bersel satu (kera).[28]

Berbeda dengan pemahaman di atas, manusia dalam definisi Qur'ani bersifat kompre-hensif, yaitu sebagai makhluk basyari, makhluk insani, makhluk al-Nasi, dan makhluk bani Adam. Keempat macam sebutan itu, merupakan istilah yang banyak digunakan al-Qur'an tentang manusia. Sebagai yang dapat dilihat, istilah basyar disebut dalam al-quran sebanyak 37 kali, sedangkan istilah insan disebut sebanyak 65 kali. Istilah al-Nas disebut sebanyak 240 kali. Istilah bani Adam disebut sebanyak 7 kali.[29]

Istilah basyar dalam al-Qur'an, semuanya mengarah pada gejala umum yang nampak pada fisik atau bentuk lahiriyah yang aktivitasnya di-pengaruhi oleh dorongan kodrat alamiah, seperti makan, minum, seks, berjalan, dan mati sebagai akhir kegiatannya di dunia.
Pada keadaan ini, manusia secara otomatis tunduk pada hukum alam.[30] Konteks istilah basyar yang demikian itu, dapat dilihat dalam surat al-Hijr: 28, al-Furqan: 54, al-Rum: 20, al-Mu'minun:33, Ali 'Imran: 47, dan al-Anbiya': 34. Kalau melihat konteksnya, manusia menurut definisi Qur'ani sebagai mahkluk biologis atau basyari, yang perilakunya secara disadari maupun secara refleks dibentuk oleh alam lingkungannya.

Berbeda dengan basyar, konteks istilah insan dalam al-Qur'an, menunjuk pada potensi yang membentuk struktur kerohanian manusia dan berfungsi sebagai modal dasar kehidupannya di dunia. Potensi itu berupa kapasitas nafsu, akal, dan rasa. Nafsu merupakan potensi krea-tifitas yang cenderung pada arah nilai positif dan negatif (QS. al-Syams: 7-8). Akal sebagai potensi intelegensi yang dapat mengenal, memahami, memilah, meneliti, dan memperoleh pengetahuan (QS. al-Rahman: 2, al-"Alaq: 5, al-Hajj: 46, al-Nahl: 12, dan 'Abasa: 24. Rasa merupakan potensi yang mengarah pada nilai-nilai etika, estetika, dan agama (QS. al-Syura: 48, al-Zumar: 8. dan al-Ma'arij: 19-20).
[31] Selain itu, konteks insan mengarah pada sifat-sifat manusia, seperti mulia, ingkar, melampaui batas, dan optimis (QS. al-Tin: 4, al-'Adiyat: 6, al-'Alaq: 6, dan Fusilat: 49).[32] Jadi, dalam konteks itu, manusia adalah sebagai makhluk psikologis atau insani.

Konteks al-Nas dalam al-Qur'an, pertama, obyek pembicaraannya mengenai manusia bukan secara individual, tetapi manusia secara kelom-pok. Hal ini dapat dilihat pada ungkapan-ung-kapan Qur'ani, "aksar al-nas" (kebanyakan manusia, QS. al-Rum: 30), "wa min al-nas" (dan di antara manusia, QS. Lukman: 20), dan "al-nas ajma'in" (Manusia seluruhnya, QS. Ali-'Imran: 87). Selain itu, bentuk kalimat perintah yang berkaitan dengan al-nas ditujukan kepada semua orang, seperti dalam ungkapan "ya ayyuha al-nas u'budu rabba kum" (hai manusia, sembahlah Tuhanmu sekalian, QS. al-Baqarah: 21), "ya ayyuha al-nas uzkuru" (hai manusia, ingatlah kalian semuanya, QS. Fatir: 3), dan "ya ayyuha al-nas ittaqu" (hai manusia, bertakwalah kamu sekalian, QS. Luqman: 33).
[33]

Kedua, istilah al-nas berkaitan dengan petunjuk al-Qur'an yang diperuntukkan pada manusia secara komunal, sebagai terlihat dalam ungkapan "ya ayyuha al-nas qad jaa kum al-rasul" (hai manusia, sesungguhnya telah datang rasul kepada kalian, QS. al-Nisa: 170), "wa anjalna ilaika al-zikra li tubayyina li al-nas" (dan Kami turunkan kepdamu al-Qur'an sebagai pen-jelasan bagi umat manusia, QS. al-Zumar: 41).
[34]

Ketiga, istilah al-nas dikaitkan dengan penjelasan mengenai berbagai tipe, perilaku, atau karakter kelompok manusia. Menurut al-Qur'an, sebagai manusia itu munafiq (QS. al-Baqarah: 8-13), fasiq (QS. al-Maidah: 49), zalim (QS. Yunus: 44), lalai (QS. Yunus: 92), kafir (QS. al-Isra': 89), destruktif (QS. al-Syu'ara': 183), musyrik (QS. Yusuf:103, 106), tidak bersyukur (Yusuf: 28), beriman (QS. al-Ankabut: 10), materialisme (QS. al-Baqarah: 204), dan berpaling (QS. al-Anbiya': 1).
[35]

Jika dilihat dari konteksnya, istilah al-nas dalam al-Qur'an mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial yang saling bersekutu dan ber-interaksi, dengan berpedoman pada petunjuk Ilahi yang merupakan rel pembatas dari suatu tindakan yang dibolehkan dan terlarang. Selain itu, naluri manusia cenderung bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dalam budaya yang berbeda, dan cenderung pula untuk saling berhubungan, membutuhkan, tolong mneolong, dan memahami (QS. al-Hujurat: 13, al-Nisa': 1).

Istilah bani Adam dalam al-Qur'an, menunjukan bahwa manusia bukan merupakan hasil evolusi dari kera, melainkan berasal dari Adam.
[36] Adam, menurut al-Qur'an, sebagai asal mula manusia yang diciptakan Tuhan dari tanah dan ruh. Hal itu diungkapkan dalam surat al-Hijr; 28, "fa iza sawwaituhu wa nafakhtu fi hi min ruhi" (maka ketika Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku meniupkan ke dalam tu-buhnya ruh ciptaan-Ku). Tubuh Adam, menurut hadis Nabi, adalah kekar, besar, dan tinggi 37,5 meter atau 60 hasta. Tubuh Adam, dalamnya diberi ruh dan bentuknya sebagai makhluk theoformis. Hadis Nabi itu berbunyi, "khalaqa Allahu Adama 'ala suratihi wa tuluhu sittun zira'an" Tuhan telah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya dan tingginya 60 hasta, HR. Bukhari dan Muslim).[37] Jadi, manusia dalam konteks bani Adam adalah sebagai makhluk theoformis yang tersusun dari jasad dan ruh. Jasad berasal dari tanah, sedang ruh berasal dari Tuhan sebagai meta-energi yang menyebabkan daya basyari (biologis), insani (psikologis), dan al-nasi (hidup sosial) yang ada pada diri manusia dapat berfungsi. Daya-daya itu akan kembali tidak berfungsi setelah ruh diambil oleh Tuhan, itulah yang disebut kematian (QS. al-Jumu'ah: 8).

Dari keempat istilah tersebut di atas, terlihat bahwa manusia dalam perspektif al-Qur'an, dipandang secara komprehensif. Untuk menggambarkan totalitas wujud manusia, al-Qur'an menyebutnya sebagai khalifah, seperti yang terlihat dalam ungkapan "inni Ja'ilun fi al-ardi khalifah" (sesungguhnya aku hendak menjadikan khalifah di bumi, QS. al-Baqarah: 30). Khalifah, artinya wakil, pengganti, atau duta. Istilah khalifah dalam ayat tersebut, jelas mengacu pada totalitas wujud manusia sebagai pemegang mandat Tuhan di bumi, yang realitasnya memiliki mata rantai eksistensi yakni menerality, vegetality, animality, humanity, dan godly.
[38] Sebagai makhluk khalifah (mandataris Tuhan), manusia dalam pandangan al-Qur'an, merupakan makhluk yang paling mulia dan istimewa (QS. al-Isra': 70), serta memiliki wewe-nang penuh untuk mewujudkan kemakmuran (QS. Hud: 61) dengan cara mengelola dan men-dayangunakan berbagai fasilitas yang telah disediakan Tuhan (QS. Luqman: 20, al-Jasiyah: 12, 3), kemudian bertanggungjawab atas amanat yang diembanya (QS. al-Mudassir: 38). Dengan demikian, predikat khalifah merupakan definisi Qur'ani yang utuh dan padu mengenai hakikat manusia, karenanya manusia dipandang dalam kesempurnaan dan bereksistensi mendekati tataran katuhanan. pada berikut akan dijelaskan bagaimana pandangan al-Qur'an tentang pro-duksi dan reproduksi manusia.

C. Penciptaan manusia

Manusia yang pertama kali diciptakan, menurut al-Qur'an, adalah Adam, yang proses kejadiannya bermula dari turab. Seperti terlihat dalam ungkapan "khalaqa hu min turab" (Allah menciptakan Adam dari turab, QS. Ali 'Imran: 59). Kata turab yang kaitannya dengan pen-ciptaan Adam, dalam al-Qur'an disebut 7 kali.
[39] Menurut kamus Arab, turab artinya ma na'uma min adim al-ard (permukaan tanah yang halus dan lem-but).[40] Karena bentuknya yang halus dan lembut, demikian al-Asfihani, maka cenderung menem-pel.[41] Kemudian, tanah yang halus itu diproses dengan air, al-Qur'an menjelaskan "khalaqa min al-ma' basyara" (Dia menciptakan manusia dari air, QS. al-Furqan: 54).

Proses pencampuran antara tanah yang halus dengan air, menyebabkan keadaannya berubah menjadi tin, sebagai dalam ungkapan "wa badaa khalaqa al-insan min tin" (dan Dia memulai menciptakan manusia dari tin, QS. al-Sajadah: 7). Kata tin yang berkaitan dengan penciptaan Adam, dalam al-Qur'an disebut 8 kali.
[42] Menurut kamus Arab, tin artinya al-wahl, wa huwa al-turab al-mukhtalat bi al ma' (lumpur, yaitu tanah yang bercampur air, atau hydro-genium).[43] Kemudian diproses menjadi tin lazib: ferrum, yodium, sillicium, kelium (QS. al-Saffat: 11).

Setelah diproses dan disimpan dalam waktu tertentu (QS. al-An'am: 2), keadaannya berubah menjadi min salsal min hamai al-masnun, sebagai dalam ungkapan "inni khaliqun basyara min salsa min hamain masnun" (sesung-guhnya Aku akan menciptakan manusia dari salsal min hamain masnun, QS. al-Hijr: 28). Istilah salsal min hamain masnun, dalam al-Qur'an disebut 3 kali.
[44] Dalam kamus Arab, istilah tersebut mengandung arti al-tin al-aswad al-yabis al-muntin wa 'amila hu fakhkharan (lumpur yang hitam, kering, berbau busuk, dan dibentuk menjadi bahan tembikar, atau nitro-genium).[45]

Salsal min hamai al-masnun
itu, selan-jutnya berubah menjadi salsal ka al-fakhkhar dan dalam al-Qur'an disebut 1 kali, Allah berfirman dalam surat al-Rahman: 14; "Khalaqa al-Insana min salsal ka al-fakhkhar" (Allah menciptakan manusia dari salsal ka al-fakhkhar). Istilah itu, menurut kamus Arab, mengandung arti lumpur kering berbentuk tembikar atau carbonium).[46] Salsal ka al-fakhkhar itu dibuat dalam bentuk tubuh manusia dan diberi rupa, seperti dalam ungkapan "summa sawwarna kum" (kemudian Kami bentuk tubuhmu, QS. al-A'raf: 11). Setelah prosesnya selesai, Allah meniupkan ruh-Nya pda tubuh Adam yang masih berupa tembikar yang dibentuk (lihat QS. Sa: 72), lalu Allah berfirman: "kun fa yakunu" (jadilah seorang manusia, maka jadilah dia, QS. Ali 'Imran: 59).

Jadi, proses penciptaan Adam sebagai manusia pertama melewati berbagai tahapan, yaitu: 1) turab, 2) tin, 3) salsal min hamai al masnun, 4) salsal ka al-fakhkhar, 5) taswirah (patung manusia), 6) nafhatu al-ruh (pemberian ruh), 7) takwin (menjadikan).

Setelah Adam tercipta, Allah menciptakan pasangannya sebagai teman hidup dan tempat reproduksi, sehingga hidup Adam menjadi bahagia dan berketurunan. Mengenai proses penciptaannya, menurut al-Qur'an, berasal dari bahan yang diambil dari diri Adam; apakah sperma? al-Qur'an tidak menjelaskan soal itu secara detail, seperti terlihat dalam QS. al-Nisa': 1, al-A'raf: 189, dan al-Zumar: 6. Proses per-campuran antara Adam sebagai produsen sperma dan isterinya yang menghasilkan ovum, me-nyebebkan terjadinya reproduksi. Dalam hal itu Allah menegaskan dalam firman-Nya: "fa lamma taqasysya ha hamalat" (maka setelah bercampur, istrinya itu mengandung. QS. al-A'raf: 189). Firman-Nya yang lain: "wa bassa min huma rijalan kasiran wa al-nisaan". (dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, QS. al-Nisa': 1).

Sperma atau ovum, dalam al-Qur'an, disebut mani (QS. al-Qiyamah: 37). Menurut Ib-rahim Madkur, mani, adalah cairan kental berwarna putih dan berisi sel-sel.
[47] Sel-sel telur, atau yang disebut ovum, terdapat pada mani perempuan, sedangkan sel-sel spermatozoa ter-dapat pada mani laki-laki.[48] Ovum, bermula dari embrional oogonium yang bertempat di ovarium (indung telur). Ovum yang terlepas dari ovarium, berdiameter 0,1 mm dan di tengah-tengahnya terdapat nukleus (inti sel) yang berbentuk oval.[49] Nukleus tersusun atas protein, enzim, dan pem-bawa sifat menurun atau kromosom.[50] Se-dangkan sperma, bermula dari embrional sper-matogonium yang bertempat di testis (kelenjar kelamin pria), dan bentuk sperma seperti cebong yang terdiri atas tiga bagian yaitu: kepala berbentuk lonjong agak gepeng berisi nukleus, leher, dan ekor yang dapat bergetar sehingga bergerak dengan cepat.[51] al-Qur'an menyebut ovum dan sperma sebagai main mahin (air yang hina, QS. al-Sajadah: 8), karena memang ben-tuknya yang menjijikan dan baunya yang menyengat. Main mahin itu, ditegaskan, berasal dari saripati tanah (QS. al-Mu'minun: 12, 13), karena kelihatannya diproses dari berbagai makanan yang bersumber dari tanah.

Ketika ovum dan sperma masing-masing ditumpahkan melalui senggama, lalu bertemu di tuba falloppi (saluran telur) dan bercampur menjadi satu, keadaannya berubah menjadi nutfah. Menurut al-Qur'an, nutfah adalah berasal dari air mani atau ovum dan sperma yang ditumpahkan ke dalam rahim (QS. al-Qiyamah: 37). Bercampurnya antara ovum dan sperma di tuba falloppi, menyebabkan terjadinya fertilisasi atau konsepsi (pembuahan).
[52] Menurut Hanifa Wiknyosastro, jutaan spermatozoon yang dike-luarkan, namun beberapa ratus ribu saja yang dapat sampai ke ampula tuba di mana sper-matozoon dapat memasuki ovum yang telah siap untuk dibuahi dan hanya satu spermatozon yang mempunyai kemampuan membuahi.[53] Ovum yang telah dibuahi, disebut zigot dan terdiri atas bahan genetik dari wanita dan pria.[54] Zigot yang memiliki 44 kromosom otosom dan 2 kromosom kelamin XX (XX-zygote), dengan rincian 22 kromosom otosom dan 1 kromosom kelamin X yang terdapat pada ovum dengan 22 kromosom otosom dan 1 kromosom kelamin X yang terdapat pada spermatozoon, maka akan tumbuh janin wanita. Zigot yang memiliki 44 kromosom otosom dan 2 kromosom kelamin XY (XY-zigote), yakni 22 kromosom otosom dan 1 kromosom kelamin X terdapat pada ovum dengan 22 kromosom otosom da 1 kromosom kelamin Y terdapat pada spermatozoon, maka akan tumbuh janin pria.[55] Menurut al-Qur'an, Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari ovum dan sperma yang ditumpahkan (min nutfah iza tumna, QS. al-Najm: 45-46), kemudian keduanya bercampur (min nutfah amsyaj, QS. al-Insan: 2) dan ditentukan kadar kromosom dan sebagainya. (min nutfah khalaqa hu fa qaddara hu, QS. 'Abasa: 19).

Zigot hasil pembuahan itu, bergerak maju ke arah rongga rahim disebabkan oleh arus, getaran rambut getar, dan pengerutan tuba. Selanjutnya, zigot itu masuk ke dalam endo-metrium (selaput rahim) dan melekat pada dinding depan atau belakang rahim. Setelah itu, zigot membelah diri menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, dan seterusnya hingga terbentuklah lempeng embrional.
[56] Dalam al-Qur'an, lempeng embrional yang melekat pada dinding rahim disebut 'alaqah (QS. al-Mu'minun: 14). Artinya bergantung, ber-dempet, melekat, segumpal, dan sesuatu yang hitam seperti cacing.[57]

Lempeng embrional itu, kemudian, tumbuh dan berkembang menjadi embrio atau yang disebut al-Qur'an sebagai mudgah (QS. al-Mu;minun: 14, al-Haj: 5), artinya segumpal daging.
[58] Embrio, ada yang sempurna (mudagah mukhallaqah) dan ada yang tidak sempurna (mudgah gairu mukhallaqah). Yang pertama, akan menjadi bayi yang sempurna panca inderanya, dan yang kedua akan menjadi bayi yang tidak sempurna panca inderanya.[59] Embrio tersebut, bertransformasi terus menerus dalam uterus (rahim) yang dilapisi dengan tiga selaput pembungkusnya, yaitu: 1) Selaput uterus, yaitu selaput dinding pembungkus embrio yang ada dalam uterus (rahim), 2) selaput khorion, yakni selaput di bawah selaput uterus, 3) selaput am-nion, merupakan kantong embrio yang letaknya di bawah selaput khorion. Selaput yang kedua dan yang ketiga tersebut, berfungsi membentuk jonjot yang berhubungan dengan selaput uterus, di mana dalam jonjot itu terdapat pembuluh darah ibunya dengan prantara ari-ari (plasenta). Ruangan embrio yang dilapisi selaput amnion dan khorion berisi air ketuban (liquor amnii) yang berfungsi sebagai berikut: a) Menjaga embrio tetap basah dan tahan terhadap goncangan, b) Agar embrio tidak melekat pada amnion, c) Agar embrio dapat bergerak dengan bebas, d) Regulasi terhadap panas dan perubahan suhu, e) Mungkin untuk menambah suplai cairan embrio, f) Meratakan tekanan intra-uterin dan member-sihkan jalan lahir bila ketuban pecah.[60] Dalam hubungan itu, Allah berfirman: "yakhluqu kum fi butuni ummahati kum khalqan min ba'di khalqin fi zulumatin salas" (Allah menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan, QS. al-Zumar: 6). Yang dimaksud dengan tiga kegelapan adalah tiga selaput pembungkus embrio tersebut di atas.[61]

Dengan organogenesis, embrio berubah menjadi fetus (janin) yang keadaannya sudah mengeras, tulang punggungnya menguat, dan terbungkus dengan daging.
[62] Firman Allah: fa khalaqna al-mudgah 'izaman fa kasauna al-izama lahman summa ansya'na khalqan akhar" (Segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk berbentuk lain, QS. al-Mu'minun:14 ). Fetus itu dapat tumbuh dalam rongga rahim dengan sempurna, melalui plasenta (ari-ari) yang berfungsi sebagai alat pemberi makanan, pe-nyalur zat asam, pembuang CO2, pengeluaran sampah metabolisme, penghasil hormon-hormon, penyalur bermacam antibodi, dan penyaring obat-obat dan kuman-kuman yang tidak melewati ari-ari.[63] Plasenta dihubungkan dengan embrio oleh tali pusat yang terpenuhi banyak pembuluh darah. Zat makanan dan O2 dari pembuluh darah ibunya berjalan lewat plasenta ke tali pusat, kemudian ke pembuluh darah embrio. Sedangkan zat-zat sisa dan CO2 dari pembuluh darah embrio, berjalan lewat tali pusat ke plasenta dan selanjutnya ke pembuluh darah ibunya.[64]

Menurut al-Qur'an, janin itu kemudian diberi ruh oleh Allah dan dilengkapi dengan pancaindera, sehingga keadaannya berubah menjadi bayi yang dapat bergerak dan berada dalam rongga rahim sampai pikun, (QS. al-Sajadah: 7-9, al-Haj: 5, dan al-Nahl: 78).

Jadi, menurut al-Qur'an, reproduksi anak cucu adam melalui beberapa fase yaitu: 1) sulalah min tin (saripati tanah), 2) mani (ovum dan sperma), 3) nutfah (zigot), 4) 'alaqah (im-plantasi), 5) mudgah (embrio), 6) janin (fetus), 7) nafhatu al-ruh (pemberian ruh), 8) tifl (neonatus/bayi). Namun demikian, ada rep-roduksi yang tidak memerlukan sperma, seperti dalam proses penciptaan Isa ibn Maryam. Firman Allah: "Qalat rabbi anna yakunu li waladun wa lam yamsas ni basyarun" (Maryam berkata: Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh laki-laki", QS. Ali Imran: 47). Selain itu, ada juga reproduksi yang tidak membutuhkan ovum dan rahim, seperti dalam proses kejadian istri Adam. Firman Allah: "wa khalaqa min ha zauja ha" (dan darinya Allah menciptakan istrinya, QS. al-Nisa': 1).

Dengan bioteknologi, proses penciptaan Isa ibn Maryam dan istri Adam dapat diverifikasi melalui teknologi kloning dan teknik bayi tabung. Proses reproduksi melalui kloning, menurut Masduki, dalam pembuahan tidak lagi memer-lukan sperma, sehingga kaum laki-laki sebagai produsen sperma berhasil disingkirkan oleh teknologi ini.
[65] Sedangkan teknik bayi tabung, pembuahan ovum oleh sperma diproses dalam laboratorium dan selanjutnya ditransfer ke dalam rahim, atau ditanam di tuba fallopi (saluran telur).[66] Pada suatu saat, bisa saja ovum dan rahim tidak dibutuhkan dalam reproduksi, se-perti yang terjadi pada penciptaan istri Adam. Allah memang Maha Kuasa dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, termasuk juga bayi kembar, prematur, dan kemandulan (al-Syura: 50 dan al-Ra'd: 8 ), sebagai petunjuk bagi kaum yang ber-pikir untuk dapat dipahami dan diketahui secara empiris.

D. Rasisma dan Organisma Manusia

Reproduksi manusia tanpa tergantung pada musim tertentu, hal ini didorong oleh nafsu birahi yang terus menerus, distimulasi oleh keadaan, dan karena manusia mendapat makan dalam semua musim.
[67] Hal itu dijelaskan dalam al-qur'an, bahwa manusia secara naluriah selalu cenderung untuk mencintai dunia, termasuk wanita, dan semua yang diinginkan manusia sudah tersedia (QS. Ali- Imran:14 dan Fussilat: 31. reproduksi yang tidak pernah berhenti, menyebabkan populasi manusia bertambah banyak dan tersebar ke seluruh dunia dengan iklim yang berbeda, disebabkan oleh rotasi bumi. Iklimlah, menurut Ibn Khaldun (1332-1406 M), yang mempengaruhi perbedaan warna kulit, watak, rambut, bentuk tubuh, dan prilaku manusia.[68]

Dengan fenotipe yang beraneka ragam, demikian Koentjaraningrat, timbullah pengertian "ras" yakni suatu golongan manusia yang menunjukan berbagai ciri tubuh yang tertentu.
[69] Sifat kesatuan ras dan kemudian terikat oleh kesadaran serta identitas akan persamaan kebu-dayaan, menurut Koentjaraningrat, disebut se-bagai "suku bangsa", atau dalam bahasa Inggris Ethnich group (kelompok etnik).[70] Semua itu ter-lihat dalam beberapa ungkapan al-Qur'an "Izda Antum Basyarun Tantasyirun" (tiba-tiba kamu menjadi manusia yang berkembang biak atau tersebar, QS. al-Rum: 20). "Ja 'ala al-arda qararan" (Dialah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap, QS. al-Mu'min: 64). "Ikhtilafi alwanikum" (beraneka ragam warna kulitmu, QS. al-Rum: 22). "wa ja'alana kum syu'uban wa qabaila" (dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, QS. al-Hujurat: 13).

Sungguhpun di muka bumi terdapat ras yang beraneka ragam, tetapi manusia dalam hidupnya selalu cenderung untuk saling ber-komunikasi sesama ras atau dengan ras lainnya, yang disebut al-Qur'an "li ta'arafu" (untuk saling kenal mengenal, QS. al-Hujurat: 13). Maksud dari komunikasi itu, dapat terjalin rasa per-saudaraan yang di dalamnya saling menolong, melengkapi, menghormati, memikirkan, mem-perhatikan, mencintai, dan berpartisipasi di an-tara sesama umat manusia. Kecendrungan manusia untuk berkomunikasi, tidak lain didorong oleh kesadaran akan keterbatasan organisme yang dimiliki, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur'an, "wa khuliqa al-Insanu da'ifan" (dan manusia dijadikan bersifat lemah, QS. al-Nisa: 28). Faktor keterbatasan itulah yang menyebabkan manusia tidak dapat hidup berdiri sendiri dan sulit untuk mencapai kepen-tingannya tanpa partisipasi orang lain. Oleh sebab itu, Allah menekankan kepada manusia agar senantiasa menjaga kebersamaan dan menghindar dari perpecahan (QS. Ali-'Imran: 103), karena selain alasan di atas, manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Esa, dari asal dan keturunan yang sama yaitu saripati tanah dan Adam, bertempat di bumi yang sama, dan setatusnya sebagai makhluk khalifah. Umat manusia, dalam al-Qur'an disebut "ummatan wahidatan" (umat yang satu, QS. al-Baqarah: 213) dan yang paling mulia di sisi Allah adalah manusia yang bertaqwa (QS. al-Hujurat: 13) karena yang dipandang Allah bukanlah fenotipe (HR. Muslim).
[71]

Namun demikian, di antara manusia ada yang memandang rasnya lebih kuat, pandai, maju, luhur, unggul, dan berkuasa daripada ras lain, sehingga timbul permusuhan dan penindasan yang menyebabkan banyak kese-dihan serta kesengsaraan. Sikap yang seperti itu, merupakan manifestasi dari sifat egois, yang memandang dirinya sebagai manusia super tanpa melihat adanya persamaan dan ke-terbatasan organismenya. Manusia yang bersifat egois, konsekwensinya tidak akan pernah menghargai, memperhatikan, memikirkan, mencintai, dan mengasihani orang lain; bahkan ia memutuskan hubungan dan rasa per-saudaraan, karena dirinya mengira bahwa kepentingan dirinya dapat dicapai tanpa keikutsertaan individu yang lain.

Bagaimanapun, manusia dalam hidupnya memerlukan orang lain, karena secara sosiologis, manusia bereksistensi dalam kebersamaan. Kebersamaan itu, dapat terwujud dengan berkomunikasi yang merupakan sarana untuk mengekspresikan keinginanya.
[72] Tanpa komu-nikasi, menurut al-Qur'an manusia akan jatuh derajatnya pada tingkat yang rendah (QS. Ali-'Imarn: 112).

Dalam berkomunikasi, seseorang memberi dan menerima ide-ide yang dituangkan dalam lambang-lambang tertentu yang sudah diberi pengertian yang sama. Lambang-lambang ter-sebut, berupa deretan huruf-huruf yang dirangkai sebagai suatu kata yang punya maksud atau yang disebut bahasa.
[73] Jadi, individu-individu yang tergabung dalam ras tertentu mesti mempunyai kesamaan pengertian akan lambang-lambang yang diungkapkan, agar tidak terjadi misinterpretasi yang menyebabkan gagalnya suatu komunikasi. Bahasa manusia tentu saja beraneka ragam, karena masing-masing ras yang ada di muka bumi ini mempunyai pengertian yang berbeda akan lambang-lambang yang digunakan dalam ber-komunikasi. Pengertian, menurut Sing Mehra, pernyataan secara eksplisit tentang konotasi sesuatu term.[74] Menurut Baihaqi, pengertian adalah teknik menerangkan dengan lisan, yang dengannya diperoleh pemahaman yang jelas tentang sesuatu obyek yang dikenal.[75]

Pernyataan secara eksplisit tentang konotasi secara term, dibentuk berdasarkan sesuatu aktivitas pikiran yang berpusat di dalam otak manusia, kemudian diekspresikan melalui lambang-lambang atau bahasa. Dalam meng-ekspresikan lambang-lambang itu, manusia menggunakan intonasi dan dialek yang berbeda dengan bentuk suara yang berlainan. Hal itu, tidak lain disebabkan oleh adanya perbedaan beberapa bagian organisma manusia, seperti tenggorokan, jakun, rongga mulut, lidah, dan bibir.
[76] Menurut al-Qur'an, perbedaan bahasa manusia merupakan suatu tanda kekuasaan Allah (QS: al-Rum: 22), dan Dia memberi petunjuk kepada manusia melalui para rasul-Nya sesuai dengan bahasa kaumnya, agar isi pesan yang disampaikan mereka dapat dipahami dan diterima (QS. Ibrahim: 4).

Dengan bahasa, manusia dapat menge-tahui konotasi suatu term dan mampu belajar mengenai keaadaan sekitarnya, atau keadaan yang belum maupun yang sudah terjadi. Adam, misalnya, bisa mengetahui nama-nama benda seluruhnya dan mengemukakannya kepada pada malaikat, setelah ia belajar dari Allah (QS. al-Baqarah: 31). Nabi Isa dan Bani Israil, sudah mengetahui wahyu tentang kedatangan seorang rasul bernama Muhammad ibn 'Abdillah (QS. al-Saf: 6). Nabi Muhammad telah mengetahui melalui wahyu, bahwa bangsa Rumawi akan mengalami kemenangan setelah dikalahkan oleh bangsa persia (QS. al-Rum: 2-4). Umat Islam mengetahui proses penciptaan alam makro maupun mikro lewat lisan Nabi Muhammad, yaitu al-Qur'an (QS. anbiya': 30, Hud: 11, dan al-Rum: 20-22). Jadi, jelaslah bahwa pengetahuan diperoleh melalui bahasa.

Pengetahuan yang diperoleh melalui bahasa, menjadikan otak berkembang dan memiliki kemampuan untuk membentuk gagasan-gagasan, konsep-konsep, dan pene-muan-penemauan. Oleh sebab itulah, tegas Koentjaraningrat, otak manusia dikembangkan oleh bahasa, tetapi juga mengembangkan bahasa.
[77] Dengan kapasitas otaknya yang unggul, manusia dapat mengembangkan sistem teknologi untuk membuat bermacam-macam alat hidup seperti senjata, alat-alat produksi, alat-alat berlindung, alat-alat transpor, alat-alat ko-munikasi, alat-alat informasi, dan sumber-sumber energi. Sistem teknologi itulah yang menjadi penyambung dari keterbatasan ke-mampuan organismanya.[78] Seperti yang terlihat dalam era kontemporer ini, dengan otaknya, manusia mampu menaklukkan bumi; daratan, lautan, dan udara serta segala isinya. Bukan hanya sampai disitu, tetapi juga, manusia dapat melakukan perjalanan ke langit dengan membuat pesawat luar angkasa, yang didorong oleh roket-roket raksasa dan diperlengkapi dengan alat komunikasi yang canggih.[79] Semua itu sejalan dengan ungkapan al-Qur'an, bahwa langit dan bumi dari segala penjurunya akan dapat ditaklukkan manusia dengan kemampuan teknologi, atau yang disebut sultan (QS. al-Rahman: 33).

Manusia, sebagaimana telah dijelaskan, tidak mungkin memperoleh kebutuhan dan keinginannya secara mandiri.
Untuk me-menuhinya, manusia harus melakukan kerja sama dengan membuat suatu sistem, yaitu sistem ekonomi. Di dalam sistem itu, terdapat pembagian kerja secara bertahap, teknik memproduksi sandang pangan, dan peralatan hidupnya. Selain itu, di dalam sistem tersebut, terdapat pula peraturan mengenai individu-individu dalam kelompok sebagai pelaku ekonomi, yakni tentang proteksi hak individual dan hak umum.
[80] Menurut al-Qur'an, manusia tidak diperbolehkan melakukan aktivitas ekonomi secara batil (QS. al-Baqarah: 188); bahkan manusia dianjurkan untuk saling menolong dalam segala hal yang sifatnya positif, termasuk aktivitas ekonomi (QS. al-Maidah: 2). Sistem ekonomi yang dikembangkan itu, tentu saja disebabkan oleh kemampuan otaknya berupa akal yang mampu membentuk gagasan-gagasan dan konsep-konsep.

Manusia, dalam hidupnya senantiasa berhadapan dengan probematika, seperti pe-nyakit, kemiskinan, gempa bumi, banjir, topan, kebakaran, dan kematian. Semua itu, dapat menyadarkan manusia akan kelemahan dirinya, sehingga timbul keyakinan tentang adanya suatu Zat Yang Maha Kuasa. Konsekwensinya, manusia dengan akalnya membentuk gagasan untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dan disertai dengan bermacam-macam pengabdian, demi mengharapkan limpahan karunia, per-tolongan, dan perlindungan.
[81] Kesadaran akan adanya Zat Yang Maha Kuasa itulah, yang menyebabkan manusia dalam hidupnya tidak dapat dipisahkan dengan naluri keagamaan yang monoteisme (QS. al-Rum: 30 dan al-A'raf: 172).

Manusia dengan akalnya dapat berfantasi secara aktif, karenanya ia memiliki kemampuan untuk berkreasi dalam merintis kehidupannya ke arah yang lebih baik dan lebih indah, dengan memanfaatkan potensi alam yang tersedia.
[82] Hal itu kiranya dapat dilihat pada kaum Nabi Saleh, yang mampu membuat reilef-relief (gambar tiga dimensi) sebagai penghias rumah-rumah dan istana-istana mereka (QS. al-A'raf: 74). Kaum Nabi Sulaeman, mampuh membuat gedung-gedung dan patung-patung dari kaca, marmer, dan tembaga (QS. Saba': 13). Begitu juga manusia kontemporer, bisa membuat bangunan berarsitektur tinggi, kendaraan yang bagus lagi nyaman, pakaian yang berdesain dan perhiasan yang indah serta menawan. Hasil kreasi manusia yang berhubungan dengan keindahan, disebut seni. Dengan senilah, manusia terlihat bereksistensi dalam kesempurnaan, karenannya banyak di antara manusia yang lupa akan hakikat dirinya, hidupnya, dan Tuhannya (QS. Yunus: 7, 23, 24, dan al-Takatsur: 1-2).

Bagaimanapun, meski organisme manusia bersifat lemah dan terbatas, namun dengan kemampuan otaknya manusia mampu mengembangkan sistem-sistem yang dapat menyambung keterbatasan organismanya. Sistem-sistem itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu sistem bahasa, sistem komunikasi, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem keagamaan dan kesenian yang kesemuanya disebut kebudayaan manusia.
[83] Namun demikian, kemampuan otak manusia sangatlah terbatas seiring dengan terbatasanya jangkauan panca indera, hal itu, menurut Qahtan al-Dauri, dapat dibuktikan dengan memasukan tongkat yang lurus ke dalam air dan dilihat oleh indera mata keadaannya bengkok. Telinga manusia tidak dapat mendengar suara berbisik, suara semut, dan suara yang dipancarkan oleh pemancar radio. Makanan yang kadar manisnya lebih ringan akan terasa tawar setelah makan kue yang banyak kadar manisnya. Air yang hangat akan terasa dingin, setelah menyentuh air yang panas sekali.[84] Menurut al-Qur'an. Manusia tidak dapat mengetahui hal-hal yang metafisis, termasuk hakikat ruh (QS. al-Isra': 85), karenanya manusia tidak sepantasnya berbuat sombong terhadap sesamanya dan berpaling dari ayat-ayat Allah (QS. Luqman: 18 dan al-Qasas: 39). Akan tetapi, tegas al-Qur'an ada manusia yang mengkultuskan kebudayaannya dan enggan mengikuti petunjuk Tuhannya (QS. al-Zukhruf: 23, 24).

E. Hak Asasi Manusia

Setiap individu umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, usia, ras, keturunan, suku, bangsa, atau agama, memiliki hak fundamental yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hal yang dapat dipahami, karena manusia adalah pemilik dirinya sendiri, apa yang dihasilkan dirinya, dan alam semesta yang diciptakan Allah untuknya. Oleh sebab itu, menurut al-Qur'an, manusia diberi kebebasan dan bertanggung jawab atas penggunaan wewenangnya dalam mengelola potensi alam, baik makro ataupun mikro. Tuhan tidak membebani manusia, melainkan sesuai dengan kemampuannya. Pahala dan dosa, atau kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sangat tergantung pada perbuatan manusia itu sendiri tanpa dianiyaya sedikitpun oleh Tuhan (QS. al-Mudatssir: 38, Fusilat: 46, al-Maidah: 120, Asy-Syura: 20, dan al-Baqarah: 286).

Dalam hubungan itu, Islam memberikan perlindungan terhadap hak fundamental dengan cara menetapkan hukuman bagi siapa yang melanggarnya. Hukumannya di akhirat, berupa neraka dengan segala siksanya yang menyengsarakan. Adapun hukumannya di dunia, berupa hudud, qisas, dan ta'zir. Hudud dan qisas hukuman yang ditetapkan berdasar atas Nas Hadits dan al-Qur'an, sementara ta'zir penetapan dan pelaksanaan hukumannya diserahkan kepada penguasa (imam). Hudud adalah hukuman terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kehormatan agama, keturunan, moral, dan ketentraman umum. Qisas, merupakan hukuman terhadap pelanggaran yang berkenaan dengan kehormatan jiwa dan organ tubuh manusia. Ta'zir adalah hukuman yang mengandung unsur-unsur pengajaran dari penguasa terhadap rakyatnya, orang tua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya, masyarakat terhadap anggotanya, dan sebagainya. Hukuman-hukuman tersebut, tidak lain sebagai jaminan atas hak-hak individu dan masyarakat demi ketentraman dan kebahagiaan hidup umat manusia.
[85] Kata hudud, di dalam al-Qur'an disebut 9 kali (QS. al-Baqarah: 187, 229, 230, al-Nisa: 13, 14, al-Taubah: 97, 112, al-Mujadalah: 4, dan al-Talaq: 1). Kata qisas, disebut 4 kali (QS. al-Baqarah: 178, 179, 194, dan al-Maidah: 45). Kata ta'zir, disebut 1 kali (QS. al-Fath: 9).

Dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak fundamental, berarti manusia sebagai mandataris Tuhan di bumi telah memperoleh anugrah penghargaan dan penghormatan dari Tuhan, serta dapat terhindar dari eksploitasi, peresekusi (penggugatan), penindasan, dan ketidakadilan. Menurut Marcel A. Boisard, guru besar Hukum Internasional Universitas Geneva di Swiss, Islam mengakui ketinggian martabat manusia dengan cara memuliakannya di atas makhluk-makhluk lainnya. Iblis, tegasnya, dihukum oleh karena ia tidak sudi sujud di muka Adam sebagai bapak seluruh manusia.
[86] Hak-hak fundamental itu, merupakan kumpulan beberapa hak yang tentu saja mesti dihormati dan dihargai oleh setiap individu umat manusia, yaitu a) Hak hidup, b) hak kemerdekaan, c) hak penghargaan, d) hak persamaan dan keadilan, e) hak atas pendidikan, f) hak bekerja, g) hak kepemilikan.

1. Hak Hidup

Setiap individu umat manusia mempunyai hak hidup, yang merupakan hak fundamental yang paling utama dalam Islam. Hak itu dijamin atas semua manusia, dan merupakan kewajiban individu, masyarakat, dan negara untuk melindunginya dari setiap pelanggaran. Tidak dibenarkan bagi siapapun yang merampas dan memusnahkan kehidupan orang lain, tanpa alasan yang benar dan ketentuan dari Allah. Sebab, hanya Allah-lah yang menentukan mati dan hidupnya seseorang, dan Dia pulalah yang mewarisi bumi (QS. al-Hijr: 23). Oleh sebab itu, Allah melarang hamba-Nya membunuh orang lain, anaknya, dan dirinya; bahkan Dia pun melarang hamba-Nya merusak atau menghilangkan organ tubuh manusia (QS. al-Isra’: 33, al-An’am: 151, al-Nisa’: 29, dan al-Maidah: 45). Membunuh seseorang, dipandang oleh al-Qur’an, sama nilainya dengan membunuh manusia secara keseluruhan. Sebaliknya, menyelamatkan hidup seseorang sama nilainya dengan menyelamatkan manusia semuanya (QS. al-Maidah: 32).
[87] Jadi, jelaslah bahwa melanggar hak hidup seseorang adalah perbuatan nista, sedangkan memeliharanya sebagai perbuatan yang mulia, luhur, dan terpuji.

2. Hak Kemerdekaan

Manusia, secara teologis, diberikan otoritas penuh oleh Tuhan dalam mewujudkan kehendak dan perbuatannya melalui daya Tuhan dan daya manusia. Daya Tuhan berfungsi menciptakan perbuatan, sedang daya manusia berfungsi melakukan perbuatan. Pemberian pahala atau hukuman didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan Tuhan secara potensial. Hal itu, menurut kaum Maturidiah, dapat dilihat dalam perbuatan "duduk". Manusia bisa duduk, karena Tuhan memberikan kemampuan kepadanya. Melakukan perbuatan duduk atau tidaknya, merupakan pilihan manusia itu sendiri. Yang pertama perbuatan Tuhan, sedangkan yang kedua perbuatan manusia. Pahala dan hukuman disebabkan oleh faktor kedua, yaitu perbuatan "duduk". Oleh karena itu, menurut mereka, Tuhan tidak lagi bersifat absolut dan manusia bebas menggunakan daya yang ada pada dirinya.
[88] Dalam hubungan itu, Allah berfirman: "I'malu ma syi'tum" (perbuatlah apa yang kamu kehendaki, QS. Fusilat: 40), "fa man syaa falyu'min wa man syaa falyakfur" (siapa yang menghendaki berimanlah ia, siapa yang menghendaki janganlah ia beriman, QS. al-kahfi: 29 ), dan "inna Allha la yuqayyiru ma bi qaumin hatta yuqayyiru ma bi anfusi him" (sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, QS. al-Ra'd: 11).

Sebagaimana telah dijelaskan dalam kesimpulan mengenai definisi manusia, daya-daya yang ada pada diri manusia, adalah daya basyari (biologis), daya insani (psikologi), dan daya al-nasi (hidup sosial). Yang pertama , disebut Quraisy Syihab sebagai daya tubuh yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan dan keterampilan teknis, terutama dalam hal biologis. Yang kedua, sebagai daya akal dan kalbu yang memungkinkan manusia mempunyai kemampuan berfikir, mengembangkan ilmu, berteori, moral, estetika, berfantasi, beriman, dan merasakan kebesaran Illahi. Yang ketiga, sebagai daya hidup yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, mempertahankan hidup, dan menghadapi tantangan hidup.
[89]

Konsekwensi logis dari hak kebebasan dalam penggunaan daya-daya, manusia bebas dalam memilih agama (QS. al-Baqarah: 25), bebas berpendapat dengan cara bemusyawarah (al-Syura: 38), bebas berkreasi (al-Zumar: 39), bebas menikmati hasil kreasi (al-Syura: 15), bebas dalam berdomisili (al-Nisa': 97), dan bebas dari perbudakan (al-Balad: 13). Oleh sebab itulah, kolonialisme, feodalisme, imprealisme, dan perbudakan dalam bentuk apapun dilarang dalam Islam, karena tidak ada penghambaan kecuali kepada Allah (al-Bayyinah: 5).

3. Hak Penghargaan

Sebagai mandataris Tuhan, tentu saja, manusia adalah makhluk termulia di antara makhluk-makhluk yang ada, baik dari segi penciptaannya, kesempurnaan bentuknya, kemampuannya dalam berfikir, kemampuannya dalam berbicara, kemampuannya dalam berkreasi, kemampuannya dalam mengelola alam, fasilitas kehidupan, dan kedudukannya yang tinggi.
[90] al-Qur'an mengungkapkan, bahwa Allah telah memuliakan anak-anak Adam, mengangkut mereka di daratan dan di lautan, memberi mereka rezeki yang baik-baik, dan memberi mereka kelebihan dan kesempurnaan atas makhluk-makhluk lainnya (al-Isra': 70).

Setiap manusia berhak atas perlindungan nama baik dan kehormatan selama masa kehidupannya dan sesudah matinya; Nabi bersabda: "la tasubbu al-Amwat" (janganlah kamu sekalian memaki orang-orang yang sudah mati, HR. Bukhari). Dalam sabda Nabi yang lain dikatakan, bahwa haram hukumnya memaki orang-orang yang hidup atau pun yang sudah mati.
[91] Seseorang tidak dibenarkan menghina orang lain, mengejek, dan melecehkannya sekalipun terhadap non muslim (QS. al-Hujurat: 11, 12, al-Mumtahanah: 8, dan al-Baqarah: 272). Sesama manusia, tegas Rasulullah, tidak boleh saling membenci, bermusuhan, iri hati, menganiaya, memutuskan hubungan, dan mencari-cari kesalahan (HR. Ahmad).[92] Manusia, kata beliau, hendaknya saling menghargai, menghormati, dan mengaasihani. Orang yang melakukan hal tersebut, akan memperoleh perlakuan yang sama dari orang lain dan dari Allah. Rasulullah SAW, bersabda: "Man la yarham la yurham" (siapa yang tidak mengasihi, tidak dikasihi, HR. Tabrani), "Man la yarhamu al-nasa la yarhamu hu Allah" (siapa yang tidak mengasihi sesama manusia, Allah tidak mengasihaninya, HR. Tabrani).[93]

4. Hak Persamaan dan Keadilan

Setiap individu umat manusia adalah sama, yakni sebagai makhluk khalifah (mandataris Tuhan) dan bereksistensi dalam kesempurnaan. Islam tidak membedakan warna kulit, ras, bahasa, jenis kelamin, dan status sosial. Kelebihan seseorang terhadap orang lain adalah karena kesalehannya dalam kesucian jiwanya (ketakwaannya). al-Qur'an menegaskan bahwa siapa yang beriman dan beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat pahala (QS. al-Nahl: 97), mereka masing-masing memperoleh apa yang diusahakan dan menikmatinya (al-Nisa': 32). Dan superioritas hanyalah bagi manusia muttaqin (al-Hujurat: 13).

Oleh karena itu, semua umat manusia sama di hadapan hukum dan mendapat jaminan pembelaan. Perbedaan yang ada pada diri manusia, seperti di jelaskan di atas, tidak boleh dijadikan alasan untuk membedakan hak seseorang di muka hukum.
[94] Allah memerintahkan kepada umat manusia agar senantiasa menegakkan keadilan, sekalipun terhadap dirinya, anak, orang tua, kerabat, orang kaya, orang miskin, orang yang disenengi, ataupun orang yang dibenci (QS. al-Nisa': 135 dan al-Maidah: 8). Nabi Muhammad SAW, menyatakan bahwa, hancurnya suatu kaum disebabkan oleh perilaku penguasa yang tidak adil; kalau para pejabat mencuri (melanggar hukum) dibiarkan, tetapi jika rakyat kecil yang melakukannya dijatuhi hukuman (HR. Bukhari dan Muslim).[95] Orang-orang yang zalim, cepat atau lambat, memang pasti akan mendapat azab dari Allah, dan seandainya di antara mereka merasa aman dan nyaman dengan perbuatan zulm-Nya karena azab Tuhan belum juga turun; hal itu dikatakan dalam al-Qur'an, hanyalah penundaan hukum sampai pada hari di mana semua mata dapat menyaksikannya (QS. Ibrahim: 42).

5. Hak Atas Pendidikan

Menuntut ilmu, adalah hak bagi setiap individu umat manusia, karenanya Islam mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan. Hal itu tertuang dalam hadis Nabi SAW: "Talabu al-'ilmi faridatul 'ala kuli muslim wa muslimatin" (menuntut ilmu adalah wajib bagi umat Islam laki-laki dan perempuan, HR. Ibn Majah).
[96] Dalam al-Qur'an dianjurkan, hendaknya dari setiap golongan mengutus beberapa orang untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama (QS. al-Taubah: 122), dan setiap individu hendaknya selalu membaca (al-'Alaq: 1-2), bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan (al-Nahl: 43), dan menggunakan nalar atau akal pikirannya (al-Nahl: 11-12 dan Maryam: 98) yang karena semua itu manusia akan memperoleh pengetahuan.

Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat mengembangkan kepribadiannya, memperkuat imannya kepada Allah, meningkatkan penghormatannya terhadap hak-hak yang fundamental, serta mempertahankannya.
[97] Manusia seperti itu, menurut al-Qur;an, akan memiliki superioritas (QS. al-Mujadalah: 11), dan keberadaannya berbeda dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan (al-Zumar: 9). Rasulullah SAW, membandingkan antar orang yang berpengetahuan dengan orang yang bodoh, ibarat orang yang hidup dengan orang yang mati, sebagaimana sabda beliau: "Talib al'ilm baina al-jahal ka al-hay baina al-amwat" (penuntut ilmu, keberadannya, di antara orang-orang bodoh bagaikan orang yang hidup, berada, di antara orang-orang mati, HR. al-Dailami).[98]

Oleh sebab itulah, setiap manusia mempunyai hak menerima pendidikan agama dan keduniaan secara terpadu dari orang tua, keluarga, sekolah universitas, media, dan lain-lain. Pendidikan itu, tentu saja, harus mengacu pada profesionalisasi, kreativitas, dan moralitas.

6. Hak Bekerja

Kebutuhan hidup manusia tidak datang dengan sendirinya, tetapi diperoleh melalui bekerja, yakni mengerahkan serta mengkoordinasikan akal dan fisik untuk meraih sesuatu yang dibutuhkan.
[99] Bekerja, erat kaitannya dengan penggunaan daya-daya yang ada pada diri manusia, karenanya manusia dipandang sebagai pemilik kerjanya dan produk kerjanya. Mengingat kemampuan organisme manusia yang terbatas, bekerja pun mesti disesuaikan dengan kapasitas daya-daya yang dimilikinya.

Sehubungan dengan hal di atas, al-Qur'an menganjurkan manusia agar senantiasa bekerja keras dan dari pekerjaannya itu akan memperoleh apa yang diinginkan (QS. al-Mulk: 15, al-Zalzalah: 7-8, dan al-Taubah: 105). Siapa saja yang bekerja, tanpa diskriminasi, mempunyai hak atas imbalan yang adil dan berhak pula menikmati hasil yang diusahakannya (QS. al-Ahqaf: 19 dan al-Najm: 40). Dalam bekerja, manusia tidak boleh membebani diri atau dibebani dengan beban di luar kemampuannya (QS. al-Baqarah: 286).
[100]

7. Hak Kepemilikan

Menurut Behesti, asal-usul kepemilikan adalah kerja kreatif, perolehan dari aset alam, jasa, pertukaran, dan pemberian.
[101] Setiap orang memiliki hak atas harta yang diperoleh dengan cara tersebut, dan Islam memandangnya sebagai hak fundamental. al-Qur'an menjelaskan bahwa bagi orang laki-laki mempunyai hak atas apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita juga mempunyai hak atas apa yang mereka usahakan (QS. al-Nisa': 32). Oleh sebab itu, Islam melarang pengambilan hak dengan cara batil (QS. al-Baqarah: 188), mencuri (QS. al-Maidah: 38), dan riba (QS. Ali 'Imran: 130).

Namun demikian, hak kepemilikan dalam Islam tidaklah mutlak seperti dalam konsep kapitalis, melainkan harus berfungsi sosial yakni mempunyai sifat tenggang rasa terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan.
[102] Sebab, menurut al-Qur'an di dalam kepemilikan seseorang terdapat hak orang yang meminta (QS. al-Zariyat: 19), hak yatim (QS. al-Nisa': 2), dan hak bagi delapan golongan mustahik zakat (al-Taubah: 60). Sehubungan dengan itu, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengeluarkan zakat (QS. al-Baqarah: 43), infak (QS. al-Baqarah: 254), dan sedekah (QS. al-Taubah: 103).

Kiranya jelas, bahwa manusia memiliki hak-hak fundamental yang mesti dihormati dan diperbolehkan. Secara faktual, manusia senantiasa berjuang keras menuntut hak-haknya demi keadilan dengan mengesampingkan kewajiban-kewajibannya. Padahal, hak dan kewajiban ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Menurut Zulkabir, hak adalah sesuatu yang tidak boleh tidak menjadi tuntutan. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang mesti dilaksanakan.
[103] Hak-hak fundamental manusia tentu saja akan tetap terpelihara dan terpenuhi, selagi manusia tetap konsisten melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

F. Kewajiban Asasi Manusia

Di dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa, ketika Allah menyampaikan kehendak-Nya ke-pada para malaikat untuk menciptakan Adam, mereka menyatakan: "A taj'alu fi ha man yufsidu fi ha wa yusfiku al-dima'" (mengapa Engkau hendak menjadikan manusia di bumi yang akan membuat kerusakan padanya dan menum-pahkan darah?, QS. al-Baqarah: 30). Pernyataan para malaikat itu, sebenarnya bukan bentuk pembangkangan dan bukan pula mengisyaratkan adanya manusia sebelum Adam, yang dijadikan sebagai justifikasi bagi teori evolusi yang dimunculkan Charles Darwin (1809-1882 M). Sebab, pertama, para malaikat adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, takut, tidak durhaka, tidak pernah membantah, dan patuh terhadap segala apa yang diperintahkan Allah (QS. al-Nahl: 50, al-Anbiya': 27, dan al-Tahrim: 6). Kedua, pernyataan para malaikat tersebut kelihatannya sebagai bentuk pertanyaan yang ditujukan pada diri mereka. Ketiga, pertanyaan tersebut timbul karena firman Allah (QS. al-Baqarah: 30) menyebut Adam atau manusia sebagai makhluk khalifah, yang berarti mengacu pada totalitas wujud manusia dengan segala sifatnya yang baik dan yang buruk. Keempat, kata "khalifah" mengandung arti pemegang mandat Tuhan; mengapa sebagai mandataris Tuhan memiliki sifat-sifat buruk? Bukankah sifat-sifat buruk itu sangat potensial melahirkan perbuatan keji, destruktif, dan saling membunuh? Kenapa tidak malaikat saja yang menjadi mandataris Tuhan?

Sebanarnya, sebagai mandataris Tuhan, untuk melaksanakan rencana-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi (QS. Hud: 61), mesti memiliki ilmu pengetahuan dan semangat membangun. Ilmu pengetahuan merupakan produk proses berpikir dan inteligensi, sedang-kan semangat membangun merupakan mani-festasi dari daya nafsu, yang keduanya ada pada diri manusia dan tidak dimiliki malaikat (QS. al-Baqarah: 31, 34 dan al-Tahrim: 6). Manusia, menurut Sayyid Sabiq, memang akan dipandang lebih utama daripada malaikat selagi dapat mengendalikan hawa nafsu, memerangi syaitan, dan menghindar dari sifat-sifat buruk,
[104] seperti takabur, serakah, iri, dengki, jahat, dusta, menipu, monopoli, dan ingkar nikmat. Sean-dainya semua itu tidak dapat dikendalikan, maka manusia berada dalam posisi terendah dari semua makhluk yang ada (QS. al-A'raf: 179 dan al-Tin: 4-5). Hal yang dapat dipahami, karena manusia tidak lagi sebagai makhluk konstrukif, melainkan sebagai makhluk destruktif (QS. al-Jasiyah:23 dan al-Mu'minun: 71). Oleh sebab itulah, Allah menjadikan manusia beribadah kepada-Nya, tujuannya tidak lain agar manusia senantiasa menjadi makhluk khalifah yang melaksanakan amanah Tuhan. Dalam hubungan itu, Allah berfirman: "wa ma khalaqtu al-jinna wa al-insa illa li ya'budun" (dan Aku tidak men-ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku, (QS. al-Zariyat: 56).

Menurut al-Maturidi (852-944 M), ayat tersebut mengandung ikhbar (pemberitahuan) tentang keesaan Tuhan; agar manusia beribadah hanya kepada-Nya.
[105] Mengerjakan sesuatu "dengan rida Allah", demikian Nurcholis Madjid, dengan sendirinya menunjukan keterkaitan pelaku kepada nilai-nilai moral dan spiritual yang bersumber dari Allah.[106] Hal itu, tegas Zulkabir, akan mendatangkan kebahagiaan sejati di dunia dan di akhirat yang dibutuhkan setiap individu manusia. Tuhan, menurutnya, Maha Kaya dan tidak berhajat pada ibadah manusia.[107]

Ibadah dalam pengertian bahasa, mengandung arti pengabdian, keta’atan, kerendahan, dan penghambaan.[108] Menurut istilah, ibadah adalah perbuatan seorang mukallaf yang dila-kukan karena mengharap rida Allah dan bukan karena hawa nafsu.[109] Ibnu Taimiyah (661- 728 H) mengatakan, ibadah adalah nama bagi setiap perkataan dan perbuatan yang diridai Allah baik lahir maupun batin.[110] Ibadah menurut Nurcholish Madjid, dalam pengertiannya yang lebih luas mencakup seluruh aktivitas keseharian manusia dengan komitmen pengabdian kepada Allah, sedang dalam pengertiannya yang lebih khusus adalah ritus-ritus keagamaan Islam.[111] Dalam pengertiannya yang lebih khusus dikenal dengan ibadah mahdah (Vertikal), sedang dalam pengertiannya yang lebih luas dikenal dengan ibadah gayr mahdah (horizontal).

Kalau melihat dari pengertian dan klasifikasinya, maka ibadah di dalamnya mengandung beberapa kewajiban manusia untuk melakukan perbuatan baik yang diridai Tuhan, yaitu: a) kewajiban terhadap Allah, b) kewajiban terhadap masyarakat, c) kewajiban terhadap diri sendiri, d) kewajiban terhadap alam.

1. Kewajiban terhadap Allah

Alam semesta baik yang makro maupun mikro merupakan ciptaan Tuhan, sebagaimana dalam firman-Nya: “Fatiru al-Samawati wa al-ardi Ja’ala la kum min anfusi kum azwaja” (Dia pencipta langit dan bumi, Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasang-pasangan, Q.S. al-Syura:11).
Dia bersifat qadim, kekal, Maha Kuasa, dan Maha Esa (Q.S. al-Hadid: 3, al-Qasas: 88, al-Maidah: 120, dan al-Ikhlas: 1-4). Dia telah menundukan apa yang ada di langit atau di bumi untuk kepentingan manusia, dan Dia pulalah yang menyempurnakan nikmat-Nya untuk manusia. (Q.S. Luqman: 20).

Oleh sebab itu, setiap individu manusia harus mengesakan ketuhanan Allah, firman Allah: “wa la taj’alu ma’a Allah ilahan Akhar” (Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, Q.S. al-Zariyat: 51). Manusia sebagai mandataris Tuhan harus mengikuti perintah dan larangan-Nya, firman Allah: “ittabi’u ma unzila ilaikum min rabbi kum” (ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, QS. al- A’raf: 3). Manusia dalam ritus-ritus keagamaan harus berdasarkan atas komitmen “mengharapkan rida Allah”, firman Allah: “wa ma umiru illa li ya’budu Allah mukhlisina lahu al-din” (dan mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dan menjalankan agama secara ikhlas karena-Nya, QS. al-Bayyinah: 5). Manusia harus yakin bahwa Tuhan Maha Terpuji, Tinggi, Agung, dan kepada-Nyalah manusia dikembalikan (QS. al-Baqarah: 255 dal al-Qasas: 70). Manusia harus bersyukur kepada Allah atas segala karunia-Nya, dan harus senantiasa mengingat akan kebesaran-Nya, firman Allah: “uzkuruni azkuru kum wa usykuru li wa la takfurun” (ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, QS. al-baqarah: 152). Firman-Nya yang lain: “uzkuru Allah zikran kasiran wa sabbihu hu bukratan wa asila” (berzikirlah kamu kepada Allah sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang, QS. al- Ahzab: 41-42).

2. Kewajiban Terhadap Masyarakat

Manusia, sebagaimana telah dijelaskan, dalam hidupnya sangat bergantung pada individu yang lain, karena organismanya bersifat terbatas dan secara sosiologis manusia bereksistensi dalam kebersamaan. Oleh sebab itu, setiap individu umat manusia dituntut agar bersikap obyektif dan menghindar dari sikap egois yang hanya memperhatikan dikte atau bisikan kepentingan diri sendiri (hawa nafsu) dengan merugikan orang lain. Perbuatan merugikan orang lain, dipandang oleh Nurcholish Madjid sebagai kejahatan, karena mengorbankan kepentingan orang lain.[112] Firman Allah: “Inna al-nafsa la ammartun bi al-su’ ” (sesungguhnya hawa nafsu itu menyuruh kepada kejahatan, QS. Yusuf:53). Hawa nafsu, atau yang dipandang Nurcholis Madjid identik dengan subyektivisme, dalam perspektif qur’ani dapat menyesatkan dan membinasakan (QS. al- Jasiyah: 23 dan al- Mu’minun: 71), kecuali nafsu mutma’innah, yang dalam pendapat Sukanto, kecendrungan diri untuk bersikap atau berperilaku yang sesuai dengan petunjuk Illahi dan didorong oleh kekuatan iman dan takwa.[113] Firman Allah: “ya ayatuha al-nafs al-mutmainnah irji’I ila rabbi ki radiyah mardiyyah fa udkhuli fi ‘ibadi wa undkhuli jannati” (hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya; maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku dan masuklah ke dalam surga ku, QS. al-Fajr: 27-30).

Selanjutnya, setiap individu manusia dituntut untuk senantiasa menjaga kebersamaan (QS. Ali Imran: 103), menjalin persaudaraan (QS. al-Nisa: 1), menciptakan perdamaian (QS. al-Hujurat: 18), menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat kejahatan (QS. Ali Imran: 104, Luqman: 17), mengembangkan sikap toleransi (QS. al-Baqarah: 139), tolong menolong (QS. al-Maidah: 2), berbuat baik kepada kedua orang tua (QS. al-Isra: 23), dan menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (QS. al-Rum: 21). Selain itu, sebagai telah dijelaskan dalam hak-hak asasi manusia, setiap individu manusia dituntut untuk melindungi hak hidup orang lain, menghargai hak kebebasan orang lain, menjunjung tinggi hak persamaan dan keadilan, mewujudkan hak pendidikan bagi individu lain, menghormati hak bekerja orang lain, dan melindungi hak kepemilikan orang lain.

3. Kewajiban Terhadap Alam

Manusia, sebagai makhluk khalifah, telah dikaruniai berbagai fasilitas kehidupan yang bersumber dari alam semesta. Firman Allah dalam surat Luqman: 20, menjelaskan bahwa Dia telah menundukkan apa yang di langit dan apa yang di bumi, serta menyempurnakan ni’mat-Nya untuk kepentingan manusia, Firman-Nya yang lain, dalam surat al-Naba’: 6-16, juga men-jelaskan bahwa Dia telah menghamparkan bumi, menjadikan gunung-gunung sebagai pasak, menjadikan langit sebagai atap, menjadikan matahari sebagai pelita, dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan atau kebun-kebun yang lebat dengan air hujan. Di dalam surat Yasin: 71-73 dan Ibrahim: 32, dijelaskan juga, bahwa Allah menciptakan binatang untuk dimakan, tunggangan, atau diperoleh darinya minuman; dan Dia telah menundukan lautan dan sungai-sungai untuk manusia.

Oleh sebab itu, manusia dituntut untuk mengelola dan mendayagunakan berbagai fasi-litas yang telah disediakan Tuhan dengan cara-cara yang baik. Firman Allah: “ahsin ka ma ahsana Allah ilaika” (berbuat baiklah sesama makhluk sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, QS. al-Qasas: 77). Firman Allah selanjutnya: “wa la tabgi al-fasada fi al-ard” (dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi, QS. al-Qasas: 77). Manusia, sebagai makhluk khalifah, dituntut untuk menyayangi sesama makhluk di bumi, Sabda Nabi: “irhamu man fi al-ard yarhamu kum man fi al-samai” (sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya Allah dan para malaikat yang di langit akan menyayangi kamu sekalian, HR. Bukhari). Rasulullah melarang manusia menyakiti binatang dengan pukulan, membebani di luar kemampuannya, dan meyekapnya dengan tidak memberi makan.
[114] Seorang perempuan Bani Israil bernama Humairiyah, tegas Rasulullah, masuk neraka dan disiksa karena ia menyekap kucing sampai mati.[115] Sehubungan dengan itu, Rasulullah menganjurkan manusia agar memperlakukan binatang secara baik, sebagai dalam sabda beliau: “inna Allah ta’ala kataba al-ihsan ‘ala kulli syaiin fa iza qatala tum fa ahsinu al-qitlah wa iza zabah tum fa ahsinu al-zibhah walyuhidda ahadu kum syafrata hu walyurih zabihata hu” (sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu. Karena itu jika kamu membunuh binatang, maka hendaknya dengan cara yang baik dalam membunuh; dan jika kamu menyembelih binatang, maka hendaknya dengan cara yang baik dalam menyembelih, dan hendaknya seseorang menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya itu. HR. Muslim).[116] Hal yang dapat dipahami, sebagai dijelaskan dalam al-Qur’an, bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah makhluk Allah. Firman Allah: “wa ma min dabbatin fi al-ardi wa la tairin yatiru bi janahai hi illa umamun amsalu kum” (dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat seperti kamu, QS. al- An’am: 38).

4. Kewajiban Terhadap Diri Sendiri

Islam, sebagai agama yang perhatiannya sangat besar terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bagi setiap individu umat manusia di akhirat dan di dunia. Oleh karena itu, Islam memerintahkan kepada setiap pribadi agar senantiasa menjaga dirinya untuk tetap bereksistensi sebagai makhluk khalifah. Sehu-bungan dengan itu, setiap pribadi berkewajiban untuk memenuhi dan mengindahkan hak-hak fundamental yang telah dijelaskan dalam uraian terdahulu. Selain itu, setiap pribadi diperintah oleh Allah agar memakan makanan yang halal, lezat, baik, sehat, tidak kadaluarsa, dan tidak berlebihan (QS. al-Baqarah: 168).
[117] Sebaliknya, Islam melarang kepada setiap individu manusia agar tidak memakan makanan yang kotor, kadaluarsa, dan merusak seperti bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan khamr (QS. al-A’raf: 157, al-An’am: 145, dan al-Maidah: 90)[118]. Hal yang dapat dipahami, karena makanan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kesehatan fisik, mental, serta moral manusia.

Islam juga memerintahkan kepada setiap pribadi manusia, agar tidak membiarkan dirinya jatuh ke dalam kebinasaan (QS. al-Baqarah: 195), tidak melakukan bunuh diri (QS. al-Nisa: 29), dan tidak melakukan perbuatan zina (QS. al-Isra: 32). Hikmah yang dapat dimengerti, karena hidup adalah kepunyaan Allah dan amanat-Nya untuk dimanfaatkan manusia sampai waktu yang telah ditentukan; dan manusia dengan akalnya dapat berikhtiar untuk tetap hidup serta tetap bereksistensi dalam kemuliaan dan kesempurnaan.

Kewajiban asasi tersebut di atas, harus tetap dilaksanakan oleh setiap pribadi manusia sampai batas akhir kehidupannya di dunia. Bagi pribadi yang konsisten melaksanakan kewajiban asasinya, ia akan memperoleh kebahagian di dunia dan di akhirat. Sedangkan pribadi yang tidak melaksanakan kewajiban asasinya, ia akan mendapat hukuman sebagaimana halnya pelanggar hak asasi manusia yang telah diurai-kan. Konsekwensinya ia akan hidup sengsara di dunia dan di akhirat, karena azab Tuhan tidak hanya dirasakan di akhirat; tetapi dirasakan juga di dunia.

G. Batas Akhir Kehidupan Manusia

Manusia, adanya didahului dan diakhiri oleh tiada; yang dalam istilah teologi Islam, bersifat hadis (baharu) dan fana’ (hancur).
[119] Allah berfirman: “Lam yakun syaian mazkura” (manusia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut, QS. al-Insan: 1). Dalam firman-Nya yang lain: “kullu syaiin halikun illa wajhah” (segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah, QS. al-Qasas: 88). Oleh sebab itulah hidup manusia di dunia ada batas akhirnya, dan batas akhir itu adalah kematian.

Kematian dalam bahasa Arab adalah: “al-Maut”, dan kata al-maut” disebut dalam al-Qur’an sebanyak 35 kali.
[120] al-Maut, menurut al-Mu’jam al-Wajiz, diddu al-hayah (antonim dari hidup). [121] ketiadaan hidup atau yang disebut “al-Maut”, akan dialami oleh setiap manusia di dunia ketika ruh keluar dari jasad (QS. al-Zumar: 42).[122] Manusia, tegas al-Qur’an, tidak akan dapat menghindar dari kematian (QS. al-Nisa’: 78) sungguhpun ia tidak menyukai (QS. al- Jumua’ah: 8), karena setiap diri pasti akan mati (QS. Ali Imran: 185 dan al- Anbiya’: 34).

Dengan sebab kematian, jasad manusia membusuk dan menjadi tanah, sedangkan ruh kembali kepada Tuhan dan ditempatkan di suatu tempat bernama Barzakh. Allah berfirman: “fa inna hu mulaqi kum summa turadduna ila ‘alim al-gaib wa al-syahadah” (maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, QS. al-Jumu’ah: 8). Firman-Nya yang lain: “wa min warai him barzakhun ila yaumi yub’asun” (dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan, QS. al-Mu’minun: 100). Jadi, kematianlah yang menyebabkan hidup manusia di dunia berakhir dan kemudian pindah ke alam barzakh.

Alam barzakh, menurut Quraisy Syihab, sebagai periode antara kehidupan dunia dan akhirat.
[123] Semua manusia yang mati, demikian Ibrahim Madkur, masuk ke alam barzakh sampai hari kebangkitan.[124] Alam barzakh tentu saja bukan liang lahat tempat di semayamkannya jasad, tetapi merupakan tempat menetapnya ruh-ruh manusia pasca kematian.[125] Menurut Sayyid Sabiq, alam barzakh lebih luas dan lebih besar dari bumi yang di tempati manusia sebelumnya.[126] Keberadaanya, kata Quraisy Syihab, bersifat transfaran; ke depan penghuni alam barzakh dapat melihat akhirat dan ke belakang dapat melihat kehidupan dunia.[127] Menurut Ibn Taimiyah, yang dikutip oleh Sayyid Sabiq, penghuni alam barzakh dapat melihat keluarganya dan segala apa yang diperbuatnya di dunia. Jika keluarganya berbuat kebajikan, maka ia akan merasa gembira. Jika keluarganya berbuat kejahatan, maka ia akan merasa sedih.[128]

Ruh-ruh manusia yang menetap di alam barzakh, tentu saja akan memperoleh balasan dari Allah berupa kenikmatan dan siksaan sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya di dunia.
[129] hal itu sejalan dengan hadis Nabi: “al-qabr raudah min riyad al-jannah au hufrah min hufar al-nar” (alam kubur/Barzakh di dalamnya merupakan taman dari sekian taman surga atau lubang dari sekian lubang nereka, HR. Tarmizi dan Tabrani). Hadis Nabi riwayat Bukhari, yang dikutip oleh Quraisy Syihab, menjelaskan bahwa setiap orang yang masuk barzakh diperlihatkan kepadanya pagi dan malam tempat tinggalnya kelak di hari akhirat. Kalau dia penghuni surga, maka diperlihatkan kepadanya surga; dan kalau penghuni neraka diperlihatkan kepadanya neraka.[130] al-Qur’an menggambarkan betapa pedihnya siksaan orang-orang kafir di alam barzakh, sebagai dalam firman Allah: “wa haqa bi ali firaun suu al-‘azaba al-nar yu’raduna ‘alaiha quduwwa wa ‘asyiyya” (firaun beserta pengikutnya dikepung oleh siksa yang amat buruk. Kepada mereka di nampakan neraka pada pagi dan petang, QS. al-Mu’min: 45-46).

Balasan yang dirasakan oleh ruh-ruh manusia di alam barzakh, akan dirasakan juga oleh jasad yang berada di liang kubur sekalipun keadaanya sudah hancur.
[131] Dalam hubungan itu, Nabi Muhammad bersabda: “inna ahl qubur yu’azzibuna fi quburi him ‘azaban tasma’u hu al-bahaim” (sesungguhnya para penghuni kubur memperoleh azab di dalam kubur mereka dengan azab yang dapat didengar oleh binatang, HR.Bukhari dan Muslim).[132] Hal itu, bisa saja terjadi dengan cara menghubungkan kembali kontak antara jasad dan ruh, sebagaimana yang dialami manusia dalam keadaan tidur (QS. al-Zumar: 42) dan dapat dilihat pula dalam peristiwa resonansi antara radio dan pemancar.

Bagaimanapun, semua umat manusia akan singgah di alam barzakh sesudah matinya sampai pada hari dibangkitkan. Mereka di dalamnya memperoleh balasan, dan hanya tiga macam amal yang senantisa dapat meringankan siksaan yakni sedekah yang pahalanya selalu mengalir, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoa’akan kedua orang tuanya.
[133] Namun demikian, al-Qur’an dan hadis tidak menyebutkan di mana letak alam barzakh? Apakah salah satu planet di galaksi atau di luar galaksi? Hanya saja, dalam hal itu Nabi Muhammad mengisyaratkan pernah bertemu dengan para Nabi terdahulu di beberapa langit dalam peristiwa isra’ dan mi’raj.

Sesudah alam menjadi hancur karena kiamat (QS. al-Hallaq: 13-18), semua makhluk mati (QS. al-Zumar: 68), dan manusia menetap di alam barzakh sampai batas waktu yang ditentukan Allah (QS. al-Rum: 56); lalu datanglah hari kebangkitan yang ditandai dengan tiupan sangkakala kedua kalinya (QS. al-Zumar: 68). Datangnya hari kebangkitan, pertanda berakhirnya kehidupan di alam barzakh dan dimulainya kehidupan di akhirat. Ruh-ruh manusia yang menetap di alam barzakh dipertemukan kembali oleh Allah dengan jasad yang telah hancur berserakan, sehingga manusia berwujud seperti pada waktu di dunia. (QS. Yasin: 78-79).
[134]

Pada saat kebangkitan tiba, manusia seolah bangun dari tidurnya (QS. Yasin: 52) lalu mereka berdiri menunggu putusan Tuhan (QS. al-Zumar: 68) sambil menundukan pandangan dan kemudian mereka keluar dari kubur mereka bagaikan belalang yang beterbangan menuju Tuhan mereka (QS. al-Zumar: 7-8 dan Yasin: 51). Setelah itu, mereka di kumpulkan di suatu tempat (QS. al-Kahfi: 47) bernama mahsyar dan di dalamnya mereka menghadap Allah secara berbaris (QS. Ibrahim: 48 dan al-Kahfi: 48). Padang mahsyar yang mereka tempati tiba-tiba menjadi terang benderang dengan cahaya Tuhan, ketika itulah diperlihatkan buku catatan amal dengan disaksikan oleh para nabi dan saksi-saksi (QS. al-Zumar: 68). Pada hari itu yang menjadi penghisab adalah mereka sendiri (QS. al-Isra’: 14). Lidah, tangan, dan kaki mereka memberikan kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka lakukan (QS. al-Nur: 24).

Amal mereka dihitung, lalu ditimbang dan tidak seorangpun yang dirugikan (QS. al-Anbiya: 47). Mereka yang berat timbangan kebaikannya akan hidup bahagia di surga, sedangkan mereka yang ringan timbangan kebaikannya akan hidup menderita di neraka (QS. al-Qari’ah: 6-9). Hasil timbangan itu, selanjutnya diserahkan kepada setiap orang. Bagi orang-orang yang catatan amal kebaikannya lebih berat akan diberikannya kepadanya dari arah kanannya, sedangkan bagi orang yang catatan amal kebaikannya lebih ringan akan diberikan dari arah kirinya (QS. al-Haqqah: 19,25). Setiap kebajikan atau kejahatan yang dilakukan manusia pada waktu di dunia, walau sekecil apapun pasti akan mendapat balasannya (QS. al-Zalzalah: 7-8).

Dari Padang Mahsyar, mereka digiring oleh malaikat menuju sirat (QS. al-Saffat: 23). Sirat adalah jembatan yang membentang menuju surga dan dibawahnya terdapat neraka dengan segala tingkatanya.
[135] Setiap orang pasti akan melewatinya (QS. Maryam: 71); orang-orang mukmin dengan kualitas ketakwaan mereka akan melewatinya dan sampai ke surga atas pertolongan Allah, sedangkan orang yang berdosa dibiarkan oleh Allah jatuh ke neraka. Firman Allah: “summa nunajjiya al-lazina ittaqau wa nazaru al-zalimina fi ha jissiyya” (kemudian kami menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut, QS. Maryam: 72).[136]

Menurut para ulama Ahli Hadis dari golongan Hasyawiyah, keberadaan sirat itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang.
[137] Pendapat mereka, kelihatannya merujuk pada hadis Nabi riwayat Bukhari dan Muslim. “inna hu adiqqu min al-sya’ri wa ahaddu min al-sayfi”.[138] Sebagian ulama dari golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa, sirat adalah tempat melintas menuju surga; tempat itu akan melebar kalau yang melintasinya penghuni surga dan akan menyempit kalau yang melintasinya penghuni neraka.[139] Dan menurut sebagian ulama Mu’tazilah lagi, sirat itu sebenarnya amal manusia itu sendiri; bagi orang yang selalu ta’at pada waktu di dunia akan dapat melintasi neraka di atas amal keta’atannya dengan mudah, lalu dalam waktu yang singkat ia mudah berada di surga. Bagi orang yang membangkang akan melintasi neraka di atas amal kemaksiatannya, kemudian ia akan terjatuh di dalam neraka oleh dosanya itu.[140] Betapapun, sirat merupakan tahapan akhir proses menuju tempat pembalasan di akhirat yakni neraka dan surga.

Neraka, dalam bahasa Arab adalah “nar” yang berarti api. Kata ini tentu saja bukan mengacu pada api dunia, tetapi mengacu pada api siksaan di akhirat. al-Qur’an menyebut kata “nar” sebanyak 145 kali, dari jumlah itu sekitar 125 kali kata “nar” yang mengacu pada api neraka.
[141] Neraka, telah digambarkan oleh al-Qur’an dengan beragam bentuk; di antaranya adalah “jahannam” (tempat yang sangat dalam) disebut 77 kali, “jahim” (api yang menghanguskan) disebut 26 kali, “saqar” (panas yang menghanguskan) disebut 4 kali, “sa’ir” (api yang menyala-nyala) disebut 16 kali, “hutamah” (api yang besar) disebut 2 kali, “lazza” (api yang berkobar) disebut 1 kali, dan “hawiyah” (jurang api yang amat dalam) disebut 1 kali.[142]

Selain itu, di dalam al-Qur’an dijelaskan pula keadaan neraka yang sangat menyengsarakan bagi penghuninya. Sebagai gambaran al-Qur’an, manusia yang masuk ke dalam neraka tidaklah mati dan tidaklah hidup (QS. al-A’la: 13), setiap kali kulitnya hangus diganti dengan kulit yang baru (QS. al-Nisa: 56), makanannya hanyalah pohon berduri yang tidak mengenyangkan (QS. al-Ghasyiyyah: 6), minumannya adalah air yang amat panas atau nanah (QS. al-Naba: 24-25), pakaiannya dibuat dari api (QS. al-Hajj: 19) atau aspal yang mendidih (QS. Ibrahim: 50), atapnya api (QS. al-Zumar: 16), lantainya api (QS. al- Ankabut: 55), selimutnya api (QS. al-A’raf: 41), dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan keadaan siksaan neraka dan di dalamnya pembahasan ini tidak dapat disebutkan secara rinci.

Orang-orang yang akan menjadi penghuni neraka adalah para pelaku kejahatan yakni mereka yang tidak mengindahkan hak dan kewajiban mereka sebagai makhluk khalifah di bumi. Menurut Maturidiah, kalau mereka mati dalam keadaan taubat maka segala dosa yang mereka lakukan akan diampuni oleh Allah.
[143] Sebagaimana dalam firman-Nya: “wa huwa al-lazi yaqbalu al-taubata ‘an ‘ibadihi wa ya’fu an al-sayyiati” (dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, QS. al- Syura: 25). Lalu, mereka dimasukan ke surga.

Pelaku kejahatan yang mati tanpa taubat, demikian Maturidiah selanjutnya, dosa-dosanya tidak diampuni oleh Allah dan akan menjadi penghuni neraka. Kalau dosa-dosanya itu menyangkut keyakinan seperti kufr (tidak percaya kepada Allah), syirik (mempersekutukan Allah), dan nifaq (pura-pura beriman kepada Allah) maka pelakunya kekal di dalam neraka.
[144] Allah berfirman: “wa ulaika ashabu al-nari hum fi ha khalidun” (dan orang-orang kafir itu sebagai penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya, QS. al-Baqarah: 217). Firman Allah yang lain: “inna hu man yusyrika billahi fa qad harrama Allahu ‘alaihi al-jannah wa ma’ wa hu al-nar” (sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, QS. al-Maidah: 72). Dalam firmannya lagi ditegaskan: “wa‘ada Allah al-munafiqin wa al-munafiqat wa al-kuffara nara jahannama khalidina fi ha” (Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan permpuan, dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, QS. al-Taubah: 68).

Kalau dosa-dosanya itu menyangkut perbuatan, tegas Maturidiah, seperti fusuq (jahat), zulm (aniaya), dan ‘isyan (menyalahi aturan) maka pelakunya masuk neraka dahulu kemudian dimasukan ke dalam surga setelah dosa-dosanya habis. Sebab, ia pada dasarnya masih tergolong orang yang beriman, dan dosa-dosa yang dilakukannya itu tidak lain karena mengikuti hawa nafsunya.
[145] Kelihatanya, Maturudiah merujuk pada hadis Nabi: “la yabqa fi al-nari man kana fi qalbi hi misqala zarrotin min al-iman” (tidak kekal di dalam neraka siapa yang dalam hatinya ada iman, meskipun seberat atom, HR. Muslim dan Turmuzi).[146] Keluarnya pelaku dosa yang beriman dari neraka, menurut para teolog Islam kecuali Khawarij dan Mu’tazilah, bisa juga karena syafa’at Nabi Muhammad Saw.[147] Alasan mereka adalah hadis Nabi: “Syafa’ati li ahli al-kabairi min ummati” (syafa’atku hanyalah untuk pelaku dosa besar yang beriman dari umatku, HR. Turmuzi dan baihaqi).[148]

Syafa’at Nabi itu, tentu saja atas izin dan rida Allah. Allah berfirman: “wa la yasfa’una illa li man irtada” (dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang dirihai Allah, QS. al-Anbiya: 28). Firman-Nya yang lain: “man za al-lazi yasyfa’u ‘inda hu illa bi izni hi” (siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?, QS. al- Baqarah: 255). Menurut Sayyid Sabiq, izin dan rida Allah yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut hanyalah untuk orang-orang yang berhak menerima ampunan atas dasar keadilan Tuhan.
[149]

Syafa’at tegas al-Maturidi, memang bukanlah ampunan Tuhan secara cuma-cuma atau karena kemurahan-Nya, tetapi atas dasar keadilan Tuhan yang mengacu pada kebajikan yang dimiliki pelaku dosa yang beriman. Iman, bagi al-Maturidi, merupakan kebajikan yang amat besar dan pahalanya berlipat ganda, karenanya pelaku dosa yang beriman berhak memperolah pertolongan (syafa’at).
[150] Jadi, jelaslah bahwa orang-orang yang beriman dipastikan masuk ke dalam surga. Bagi yang tidak berdosa akan masuk ke dalamnya secara langsung, sedangkan bagi yang berdosa akan masuk ke dalamnya setelah habis masa siksaannya di neraka atau melalui syafa’at.

Surga, dalam bahasa Arab adalah “jannah” yang berarti taman atau kebun.
[151] Kata “jannah” berasal dari kata “janna”, artinya menutup; dan disebut demikian karena taman berisi pohon-pohonan rindang yang menutupi tanah di bawahnya.[152] Kata “jannah”, ada yang mengacu pada taman di dunia dan disebut dalam al-Qur’an sebanyak 23 kali, ada pula yang mengacu pada taman di akhirat dan al-Qur’an menyebutnya sebanyak 124 kali.[153] Kata “jannah” dalam arti yang terakhir inilah yang dimaksud dengan surga, yang dalam pendapat Sayyid Sabiq, sebagai tempat yang disediakan oleh Allah untuk orang-orang yang beriman.[154]

Surga, dalam perspektif al-Qur’an, mempunyai banyak sebutan di antaranya adalah “firdaus” (taman buah) disebut 2 kali, “adn” (tempat tinggal yang abadi) disebut 11 kali, “dar al-salam” (tempat yang damai) disebut 2 kali, “al-na’im” (yang penuh kenikmatan) disebut 14 kali, "al-m'wa" (tempat kediaman) disebut 4 kali, “maqam amin” (tempat tinggal yang aman sentosa) disebut 1 kali, “maqam karim” (tempat tinggal yang mulia) disebut 2 kali, dan “dar al-maqamah” (tempat yang kekal dan tidak melelahkan atau melesukan) disebut 1 kali.
[155]

Selain itu, al-Qur’an pun menggambarkan keadaan surga yang amat menyenangkan bagi penghuninya. Sebagaimana yang dijelaskan bahwa, surga itu luasnya seluas langit dan bumi (QS. Ali- imran: 133), bertingkat-tingkat (QS. al-Zumar: 20), di dalamnya terdapat sungai madu dan air susu (QS. Muhammad: 15), udaranya lembut dan sejuk (QS. al- Insan: 13), terdapat pohon yang rindang dan buahnya mudah dipetik (QS. al-Insan: 14), gelas dan bejananya terbuat dari perak (QS. al-Insan: 15-19), penghuninya diberi pakaian dari sutera, gelang emas, gelang mutiara (QS. Fatir: 33), di dalamnya terdapat pelayan-pelayan muda (QS. al-Tur: 24), wajah penghuni surga berseri-seri (QS. al- Insan: 11), di dalam surga tidak ada perkataan sia-sia dan dosa (QS. Maryam: 62), dan penghuni surga dapat melihat Allah (QS. al-Qiyamah: 22-23).

Surga dan penghuninya adalah kekal (QS. al-Baqarah: 82) sebagaimana kekalnya neraka serta penghuninya (QS. al-Zukhruf: 74), namun kekalnya itu dikembalikan kepada kehendak Allah (QS. Hud: 106-108). Sebab Dia-lah pencipta yang maha kekal (QS. al-Qasas: 88), sementara surga, neraka, manusia, dan malaikat sebagai penjaganya adalah ciptaan-Nya yang fana (QS.al- Rahman: 26-27). Menurut para teolog Islam dari kalangan Jahmiah, Mu’tazilah, Maturidiah, Asy’ariyah, semua ciptaan adalah baharu. Setiap yang baharu adalah ada batas waktunya. Semua ciptaan mesti ada batas waktunya.
[156] Seandainya ciptaan-ciptaan itu kekal, maka Tuhan serupa dengannya. Hal itu, tegas mereka, mustahil terjadi, karena esensi makhluk (ciptaan) tersusun dari subtansi dan accidents yang sifatnya baharu, sedangkan esensi Tuhan immaterial dan bersifat qadim.[157] Lagi pula, kata mereka, Allah berfirman: “laisa ka misli hi syaiun” (tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, QS. al-Syura: 11).

Dengan demikian, neraka dan surga ada batas akhirnya. Sebagai yang dikatakan Abu al-Huzail, penghuni neraka akan berhenti dalam siksaan disebabkan api neraka menjadi padam, dan penghuni surga akan berhenti dalam kenikmatan disebabkan lenyapnya kenikmatan itu.
[158] Selanjutnya manusia kembali ke pangkuan Illahi, hanya saja al-Qur’an tidak menjelaskan; apakah dalam bentuk ruh atau jasad dan ruh? Firman Allah: “wa kuntum amwata fa ahya kum summa yumitu kum summa yuhyi kum summa ilaihi turja’un (padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan, QS. al-baqarah: 28).

Berdasarkan firman Allah tersebut, jelaslah bahwa semua manusia pada akhirnya akan kembali bersatu dengan Allah, sebagai sebab dari segala yang berwujud. Bagaimana dengan penghuni neraka yang berdosa? Apakah mereka dapat kembali bersatu dengan Allah yang suci, sementara mereka bergelimang dosa? Hal itu bisa saja terjadi, karena dosa–dosa mereka telah dibersihkan oleh panas api neraka. Padamnya api neraka, tentu saja, bertanda habisnya dosa-dosa dan siksaan mereka. Dan seandainya siksaan itu melampaui dosa-dosa mereka, berarti Tuhan bersifat zalim. Firam Allah: “fa al-yauma la tuzlamu nafsun syaia fa la tujzauna illa ma kuntum ta’malun” (maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan, QS.
Yasin: 54). Sebaliknya, kalau neraka berakhir sementara dosa-dosa mereka masih ada dan siksaan mesti dirasakan, berarti Tuhan menyalahi janji dan ancaman-Nya. Allah berfirman: “inna Allah la yukhlifu al-mi’ad” (sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji, QS. Ali-Imran: 9).

H. Penutup

Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat dipahami bahwa manusia sebagai makhluk khalifah yang terdiri dari jasad dan ruh dengan fenotipe yang beraneka ragam; cenderung hidup berkelompok dan berbudaya. Dalam dirinya terdapat hak-hak dan kewajiban-kewajiban fundamental, sampai batas akhir kehidupannya di dunia. Selanjutnya, manusia hidup di akhirat sebagai tempat pembalasan atas semua perilakunya di dunia. Pada akhirnya, manusia kembali bersatu dengan Tuhan yang merupakan sebab dari segala yang berwujud. Kesimpulan ini mengacu pada beberapa alasan berikut, yaitu:

Pertama, manusia dalam definisi qur’ani disebut sebagai makhluk biologis (basyari), yang perilakunya dibentuk oleh alam lingkungannya. Selain basyari, manusia disebut juga sebagai makhluk psikologis (insani), yang perilakunya berdasarkan pertimbangan nafsu, akal, dan rasa. Di samping itu, al-Qur’an menyebut manusia sebagai makhluk sosial (al-nas), yang saling menolong, memahami, membutuhkan, berhubungan, dan berinteraksi. Dan al-Qur’an menyebutnya pula sebagai makhluk teoformis (Bani Adam), yang berasal dari Adam dan dalam dirinya terdapat ruh Tuhan sebagai meta energi. Untuk menggambarkan totalitas wujud manusia, al-Qur’an menyebutnya sebagai khalifah (pemegang mandat Tuhan di bumi).

Kedua, reproduksi anak cucu Adam dalam al-Qur’an melalui beberapa fase yaitu sulalah min tin, mani, nutfah, ‘alaqah, mudqah, janin, dan nafkhatu al-ruh. Sedangkan penciptaan Adam, melalui beberapa tahapan yaitu turab, tin (lazib), salsal min hamai al-masnun, salsal ka al-fakhkhar, taswirah, nafkhatu al-ruh, dan takwin. Dari proses penciptaan itu terlihat, bahwa manusia terdiri dari jasad dan ruh.

Ketiga, reproduksi manusia yang tidak pernah berhenti, menyebabkan populasi manusia tersebar ke seluruh dunia dengan iklim yang berbeda. Iklimlah yang mempengaruhi perbedaan warna kulit, watak, rambut, bentuk tubuh, dan perilaku, sehingga manusia memiliki fenotipe yang beraneka ragam atau yang disebut ras dan suku bangsa.

Keempat, organisma manusia bersifat lemah dan terbatas, karenanya setiap pribadi memerlukan orang lain dan bereksistensi dalam kebersamaan. Konsekwensinya, manusia cenderung hidup berkelompok.

Kelima, dengan kemampuan otaknya manusia mampu mengembangkan sistem-sistem yang dapat menyambung keterbatasan organismanya, yaitu sistem bahasa, komunikasi, pengetahuan, teknologi, sosial, ekonomi, keagamaan, dan kesenian. Semua sistem itu disebut kebudayaan manusia.

Keenam, manusia adalah pemilik dirinya sendiri, apa yang dihasilkan dirinya dan alam semesta yang diciptakan Allah untuknya. Oleh sebab itu, manusia mempunyai hak atas segala apa yang dimilikinya, bahkan dilindungi oleh Islam dengan cara menetapkan hukuman bagi siapa yang melanggarnya. Hak-hak yang dipunyai manusia disebut sebagai hak-hak fundamental, yaitu hak hidup, hak kemerdekaan, hak penghargaan, hak persamaan, hak pendidikan, hak bekerja, dan hak kepemilikan.

Ketujuh, agar manusia senantiasa menjadi makhluk khalifah yang melaksanakan amanah Tuhan; hidup bahagia di dunia dan di akhirat, maka manusia dituntut untuk melaksanakan ibadah. Ibadah merupakn kumpulan kewajiban fundamental bagi manusia, yaitu kewajiban terhadap Allah, masyarakat, alam, dan diri sendiri.

Kedelapan, kehidupan manusia di dunia akan berakhir dengan kematian. Kematian adalah berpisahnya jasad dan ruh, jasad kembali menjadi tanah sedangkan ruh menetap di barzakh sampai hari kebangkitan. Pada hari kebangkitan, jasad dan ruh bersatu kembali kemudian hidup di akhirat yang di dalamnya ada surga dan neraka. Surga adalah tempat bagi orang yang mengindahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban fundamental, dan neraka tempat bagi yang melanggarnya. Surga, di dalamnya penuh kenikmatan, sedangkan neraka penuh dengan siksaan.

Kesembilan, surga dan neraka adalah ciptaan Allah. Semua ciptaan Allah adalah fana (QS. al-Qasas: 88). Surga dan neraka mesti bersifat fana. Manusia sebagai penghuni kedua tempat itu dikembalikan kepangkuan Illahi (QS. al-Baqarah: 28), karena dalam diri manusia terdapat ruh Tuhan.

Kesimpulan di atas berikut sejumlah alasan yang menyertainya, kiranya dapat memberikan paparan secara komprehensif tentang eksistensi manusia, sebagai permasalahan pokok yang terumus dalam bagian pendahuluan.


Category:
��

Comments

0 responses to "Rasisme"